Pemilik Sah Sertifikat Merek Aroma Cempaka, Jatuh Bangun Dirundung Masalah

Sidi Janidi, Pemilik Sah Sertifikat Hak Merek Aroma Cempaka (DETAIL/Febri-Juan)

Gara-gara berselisih paham dengan sang ayah, ia akhirnya menafkahi delapan adiknya. Ia membangun rumah makan Aroma Cempaka dari nol. Namun berkali-kali dia diserang keluarga dan dirundung masalah.

SIDI Janidi hanya mengenyam pendidikan sampai kelas tiga SD. Ia terpaksa berhenti sekolah. Kalau tidak, maka adik-adiknya yang tak bersekolah. Adiknya delapan orang: tiga perempuan, lima laki-laki. Selepas putus sekolah, ia siang malam berdagang dan memilih ke luar dari rumah.

Sampai akhirnya, ia dipaksa pulang orang tuanya agar bisa membantu ekonomi keluarga. “Awalnya menolak pulang, tapi setiap hari didatangi ke kos. Suatu ketika, pakaian saya diambil dari kos, maka mau tidak mau, saya pun pulang,” ujar Sidi menceritakan kisahnya pada detail, Jumat 23 Juli 2021.

Tiga tahun kemudian, pada tahun 1987, Sidi yang berusia 21 tahun akhirnya membuka rumah makan di Cempaka Putih. Ia beri nama Aroma Cempaka.

Sejarah awalnya, ada pelanggan rutin di lorong perikanan, bengkel Akiong yang selalu beli di tempatnya. Ketika orang bertanya, beli nasi di mana? Mereka jawab di Cempaka. Seperti itu terus, sampai nama itu melekat di ingatan orang banyak. Ia kemudian menambahkan kata ‘Aroma’ di depannya. Jadilah ‘Aroma Cempaka’.

Ayahnya membuka jahitan di sebelah rumah makan. Selama itu pula, sang ayah yang berbelanja ke pasar. Selebihnya, Sidi sendiri yang mengerjakan. Mulai dari memeras santan secara manual, menggiling cabai, memasak sampai membungkus nasi.

“Saya buka siang karena malamnya saya waktu itu masih jualan rokok di pasar. Tapi karena rumah makan semakin ramai, saya berhenti berjualan rokok dan fokus buka rumah makan,” ujar Sidi mengenang.

Ia sempat selisih paham dengan sang ayah. Gara-garanya, Sidi buka rumah makan selama 24 jam, bahkan di bulan puasa juga. Ayah menentang. Ironisnya, uang hasil jualan diambil semua oleh ayahnya.

“Uang belanja tidak pernah dikembalikan kepada saya. Daripada ribut berkepanjangan, saya pindah ke Tugu Adipura Thehok, buka rumah makan di sana,” ucapnya.

Setelah beberapa waktu berjalan, ayahnya mengajak berdialog. Lagi-lagi mereka tak menemukan kata sepaham. Akhirnya, Sidi ditantang ayahnya bikin perjanjian tertulis untuk mengurus semua adiknya. Ayahnya pulang ke Padang, Sumatra Barat.

“Kalau kamu sanggup mengurusi adik-adikmu, kita buat perjanjian, tandatangan. Ayah bilang begitu. Kalau tanggungjawab itu dilimpahkan di pundak saya, saya berkomitmen, saya akan tetap pikul. Saya sanggupi dan akhirnya bapak pulang ke Padang,” kata Sidi.

Setelah deal, Sidi kembali melanjutkan rumah makan Aroma Cempaka di Cempaka Putih. Baru beberapa bulan, ia kembali diterpa masalah baru. Pada 7 Juli 1988, ia diminta pindah. Ada pihak yang tak senang melihat rumah makan Aroma Cempaka semakin ramai.

Karena ia mengontrak jangka panjang, ada yang berharap mereka cepat pindah. Atau barangkali, pemilik toko ingin menaikkan harga sewa. Padahal waktu itu kontrak baru akan habis tahun 1992. Tekanan itu membuat Sidi mengambil keputusan cepat.

Sidi menjual kios 2 pintu di Pasar Informal miliknya. Hasil penjualannya, ia bayarkan buat sewa toko di sebelah rumah makan Aroma Cempaka selama 10 tahun, terhitung sejak tahun 1992 hingga tahun 2002. Begitu habis kontrakan rumah makan Aroma Cempaka pada tahun 1992, ia tinggal pindah ke sebelah.

“Mereka pikir kontrak kami habis dan akan pindah, ternyata kami hanya pindah ke sebelah dan sudah 4 tahun yang lalu membayar ruko untuk ditempati sampai 2002,” ujar Sidi.

Tahun 1992 itu, ia tegakkan papan merek ‘Aroma Cempaka’ di depan rumah makannya. Setahun kemudian, terbit izin SIUP. Di tahun itu pula, ia menikah saat berusia 27 tahun.

Menariknya, ia menikah dengan keponakan dari orang yang sering komplain dengan keberadaan rumah makannya. Setelah Sidi menikahi keponakannya, konflik tersebut langsung mereda.

“Karena saya sudah menikah, saya limpahkan kepercayaan untuk mengurus rumah makan kepada adik ketiga Yaprizal, lulusan SMP, saat itu umurnya 23 tahun. Saya tetap mengontrol dari jauh, maksud saya supaya adik-adik saya bisa tumbuh berkembang. Saya tetap menentukan siapa mengerjakan apa,” katanya.

Setelah Sidi memberikan kepercayaan penuh soal pengelolaan rumah makan kepada sang adik ketiga, Yaprizal. Saat itu ibunya takut, ia lepas tangan.

Sampai pada suatu ketika, adiknya yang ia kuliahkan di teknik sipil Universitas Bung Hatta Padang, Janari menekan untuk meminta uang studi banding ke Bandung sebesar Rp 60 juta. Pontang-panting ia carikan malam itu juga.

Sidi ingin membuktikan bahwa peduli dan masih bisa mencarikan kebutuhan untuk adik-adiknya. Barangkali, keluarga berpikir ia lepas tangan atau membawa uang hasil usaha rumah makan.

“Saat itu saya berpikir, usaha ini bisa dipercayakan penuh ke adik-adik supaya saya bisa mulai mengembangkan usaha ke bidang lain. Namun saat itu saya masih kontrol dan awasi. Saya ada bisnis bengkel, toko emas, warung kecil, jual beli mobil, cucian taksi,” kata pria kelahiran Padang, 1 Januari 1966 ini.

Kiri: Kuasa Khusus, Wisma Wardana, Tengah: Sidi Janidi, Kanan: Kuasa Hukum, Ilham Kurniawan

 

Baca Juga: Tiga Tahun Mediasi Tanpa Hasil, Sengketa Kakak Beradik Soal Merek Dagang Restoran Aroma Cempaka Berujung Perkara Hukum

Rencana Besar Sidi untuk Adik-adik

Rencana besar Sidi pada awalnya, ingin membuat Aroma Cempaka ini membuka cabang di mana-mana dan masing-masing adiknya mengelola satu rumah makan. Untuk menghindari konflik di kemudian hari, ia sebenarnya sudah menetapkan sistem.

Bagaimanapun, perjuangan mendirikan rumah makan ini pahit getir kerja keras Sidi. Ia ingin, tiap rumah makan menyisihkan pendapatannya untuk mengapresiasi hak merek. Jadi nanti siapapun anak cucu yang ingin melanjutkan atau mendirikan baru boleh dengan catatan memberikan royalti, mengapa supaya tidak saling benturan antar anak nantinya. Begitu pula jika ada kemitraan dengan pihak eksternal.

Sistem franchise yang tenar baru-baru ini sudah ia pikirkan sejak lama. Namun konsep itu dipandang enteng oleh keluarganya.

Besarnya pendapatan rumah makan yang mencapai omzet Rp 150 juta per hari, membuat adik-adiknya semua gelap mata ingin menguasai secara penuh. Baginya, tidak bisa seperti itu. Sistem bisa kacau jika ada mitra yang ingin bekerja sama.

Untuk pengembangan, ia selalu belajar dan belajar terus di tempat lain. Masuk ke rumah makan lain, mempelajari menu kemudian menerapkannya di Aroma Cempaka. Sampai ia menciptakan menu yang berbeda untuk sambal, ayam bakar, dan ikan bakar.

Selain itu, tak pernah terpikir oleh adik-adiknya atau masyarakat umum untuk membuat menu minuman es kelapa muda. Rumah makan padang yang menyediakan menu es kelapa muda waktu itu baru Aroma Cempaka yang bikin.

Sidi belajar menu sekalian menjamah jalur distribusi bahan baku. Ia pernah belajar di rumah makan Irama Baru Kasang tahun 1990, rumah makan Garuda di Medan, rumah makan Simpang Raya, rumah makan Ayam Goreng Jogja. Setiap ada makanan kekinian ia pelajari dan terapkan. Ia terus mengembangkan jaringan dan relasi.

Pernah suatu ketika, ia didatangi orang dari Singapura untuk belajar resep sambal buatannya. Mereka siap bayar Rp10 juta.

“Saya tidak mau dibayar dengan nominal itu. Tapi saya membuka kesempatan bekerja sama untuk mengajari resep dengan kesepakatan setiap cabang yang dibuka dan menggunakan resep itu membayar fee. Biarlah hanya Rp10 ribu, tidak masalah. Mereka menolak,” kata Sidi.

Sidi Janidi justru dicap bodoh oleh orang tua gara-gara menolak. Toh, iatetap teguh pada pendirian bahwa konsep seperti ini akan melanggengkan hubungan dan menghargai jerih payah proses belajar serta uji coba bertahun-tahun. Tidak mudah menemukan dan membuat inovasi baru.

“Karena ada suami adik perempuan saya ada yang menganggur, ibu saya meminta saya untuk memberi bengkel miliknya supaya dikelola. Hanya bertahan satu tahun, bengkel itu bangkrut. Saya diminta ibu untuk mengelola kembali bengkel itu. Saya pikir, alangkah tidak elok jika saya sudah percayakan ke adik ipar lalu saya ambil alih lagi. Maka, saya sewakan per bulan Rp 75ribu bengkel itu,” ujar Sidi.

Tahun 1999, pengelolaan keuangan di bawah tangan Yaprizal kacau balau. Akhirnya, Sidi mempercayakan pengelolaannya kepada Armen, adik ke-5. Ia bebankan Armen untuk menyisihkan Rp 25 ribu untuk setiap Rp1 juta penghasilan. Sementara ia mengurusi usaha lain. Di sinilah, pangkal masalah besar.

“Saat orang ramai di rumah makan, Armen teriak minta bantu dan mengadu kepada ibu. Ia mempengaruhi ibu bahwa saya tidak mau bantu. Padahal saya sengaja melatih dia supaya sanggup mengatasi masalah. Apakah ia sanggup menghadapi kondisi ketika rumah makan itu ramai,” kata Sidi.

Sidi sendiri membangun toko emas dengan nilai modal 250 gram emas termasuk alat dan sewa tempat.Ia pakai modal hasil menggadai tanah miliknya. Tanah itu ia beli dengan cara cicil sejak tahun 1983, sewaktu jualan rokok.

Saat itu, cicilannya senilai dengan 2 bungkus rokok saat ini. Ia beli tanah itu atas nama ibu, tanpa ada yang tahu. Bahkan hingga detik ini mereka tidak pernah tahu dimana lokasi tanah itu. Dalam 8 bulan berjalan, berkembanglah toko emas itu menjadi sejumlah total 1,3 kilogram.

“Tanah itu diklaim oleh keluarga saya, padahal mereka juga tidak tahu fisiknya dimana. Lalu kembali, ibu dipengaruhi adik saya hingga usaha toko emas itu direbut paksa dengan segala macam cara. Akhirnya, toko emas itu diambil alih oleh Paman karena tekanan dari keluarga,” ujar Sidi.

Pada tahun 2009, masih karena pengelolaan yang tidak benar maka ia kembali ambil alih pengurusan rumah makan dari adiknya, Armen. Pada saat itu, tiba-tiba ada pihak yang mengaku dari bank datang ke rumah ibu hendak menyita rumah dan harta. Alasannya karena tunggakan utang. Tak mau gegabah, Sidi mempertanyakan bukti-buktinya.

“Jika memang ada buktinya, biar saya take over, saya yang akan bayar. Ternyata mereka mundur tidak punya bukti. Saya pikir itu hanya akal-akalan semata,” kata Sidi.

Setelah Armen pergi, ia mempercayakan pengelolaan rumah makan kepada adiknya Jamali, yang baru selesai kuliah jurusan Teknik, di Universitas Bung Hatta. Selain Janari yang dikuliahkan di Universitas Bung Hatta jurusan teknik sipil, Jamali juga dikuliahkan di tempat yang sama dengan jurusan teknik.

“Sampai detik sekarang, saya tidak pernah melihat ijazah dan foto wisuda adik-adik yang saya kuliahkan,” kata Sidi.

Seingat Sidi, hanya satu adiknya yang berhasil tamat kuliah. Itu pun adiknya yang perempuan yang berhasil tamat dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Baiturrahim Jambi. Ia bekerja sesuai bidang ilmunya.

Sidi Janidi juga pernah membangun kemitraan dengan beberapa pihak. Selama 4 tahun, dari tahun 2011 hingga tahun 2015 membuka rumah makan Aroma Cempaka di Mall Kapuk. Lalu, sejak 2013 sampai 2016 membuka bisnis yang sama di Hotel Ceria.

Rencananya, ia mengembangkan lagi hingga ke Jogja. Waktu itu sudah ada tempat di Hotel Cavinton. Tapi urung terlaksana. Tekanan dari keluarga membuat langkah Sidi terhambat.Konsep kemitraan yang diinginkan Sidi Janidi mendapat perlawanan dari pihak keluarga.

Ia berharap bahwa semua karyawannya punya saham tenaga. Selain mendapat gaji pokok, mereka mendapat bagi hasil maka mereka bersemangat kerja dan punya rasa memiliki. Ketika mau mengembangkan untuk membuka cabang baru, pegawai lama bisa dipindahkan ke cabang baru dengan kenaikan jabatan, jadi bisa menularkan standar yang sama di semua cabang.

“Belajarlah dari semua orang. Bahkan dari anak kecil kita belajar. Jangan pandang kecil anak kecil. Yang kecil dipuji, yang besar dimuliakan. Maka ilmu akan datang,” kata Sidi.

Baginya pantang untuk memandang rendah orang lain. “Belajarlah dari yang lebih tua. Bukan tua umur. Tapi tua pengalaman,” tuturnya.

Baca Juga: Tiga Tahun Mediasi Tanpa Hasil, Sengketa Kakak Beradik Soal Merek Dagang Restoran Aroma Cempaka Berujung Perkara Hukum

Sertifikat Hak Merek Sah Jadi Milik Sidi Janidi

Betapa panjang dan berliku perjuangan Sidi merintis usaha rumah makan sejak adik-adiknya masih kecil. Mereka disekolahkan hingga sebagian ada yang sudah dikuliahkan.

“Pada tahun 2008 saya daftarkan merek Aroma Cempaka. Tahun 2011 keluarlah sertifikat merek. Saya urus sendiri ke Jakarta,” kata Sidi.

Sertifikat Merek Aroma Cempaka

Ia belajar dari pengalaman temannya di Jakarta. Temannya ditangkap dan usahanya dibredel karena dinilai plagiat tas polo.

Tahun 2010, tanpa persetujuan Sidi, adiknya Armen mendirikan rumah makan di Kotabaru. Ia menggunakan nama Aroma Cempaka. Ia mencari investor untuk bisa mendirikan rumah makan Aroma Cempaka itu. Sebagian juga masih menggunakan aset hasil dari rumah makan Aroma Cempaka yang di Cempaka Putih.

Armen seolah memiliki hak untuk menggunakan nama besar ‘Aroma Cempaka’. Tak hanya di Kotabaru. Armen juga mendirikan Aroma Cempaka di Simpang Rimbo.

Sidi tak masalah jika Armen mendirikan rumah makan baru yang lebih megah, tapi harus menghormati jerih payah Sidi. Sudah beragam pendekatan dan mediasi kekeluargaan dilakukan namun menemui jalan buntu.

Sudah 3 tahun terakhir, Kanwil Kemenkumham Jambi memediasi Sidi dengan Armen. Toh hasil mediasi menemui jalan buntu.

Dengan berat hati, Sidi Janidi dibantu tim Kuasa Hukum yang diwakili Ilham melaporkan Armen ke Polda Jambi. Tak lama setelah dilaporkan, Armen ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyalagunaan Hak Merek dan Kekakayaan Intelektual sejak 10 Juni 2021. Sejak itu pula, merek Aroma Cempaka di Kotabaru dan Simpang Rimbo diturunkan oleh Polda Jambi.

Ia mempercayakan adik-adiknya secara bergantian supaya mereka bisa belajar mengelola. Hingga pada akhirnya mereka mengelola sendiri-sendiri dengan naungan besar Aroma Cempaka. Tapi rencana itu runyam. Mereka malah gelap mata ingin menguasai sendiri-sendiri.

Sejak mempercayakan pada Yaprizal awalnya, Sidi memang tak secara langsung mengurusi rumah makan Aroma Cempaka pertama. Ia fokus melebarkan sayap bisnis dan cabang Aroma Cempaka. Tapi, semua tetap dalam pengawasan Sidi.

Hampir 20 tahun komunikasi mereka terputus. Tak seperti layaknya saudara kandung.Sidi masih berharap semua bisa dirajut kembali. Ia ingin adik-adiknya lebih menghargai jerih payah, perjalanan belajar, serta proses jatuh bangun Sidi Janidi.

Ia ingin adik-adiknya mau mengikuti arahannya yang juga demi kebaikan bersama. Sepatutnya adik-adik yang diurus sejak kecil dan disekolahkan setelah tumbuh dewasa tak mendurhakainya.

Reporter: Febri Firsandi

Baca Juga: Tiga Tahun Mediasi Tanpa Hasil, Sengketa Kakak Beradik Soal Merek Dagang Restoran Aroma Cempaka Berujung Perkara Hukum

Exit mobile version