IRONI di setiap pemilu atau pilkada ialah, di satu sisi, situasi politik tampak bergairah penuh dinamika, di sisi lain, banyak orang skeptis apakah peristiwa itu akan berdampak pada nasib mereka. Orang melihat pemilu atau pilkada lebih sebagai salah satu ritual sosial daripada momen politik untuk mengubah nasib atau memperjuangkan cita-cita masyarakat. Setelah pemilu atau pilkada, orang tidak terlalu percaya bahwa kebutuhan dan keprihatinan mereka akan lebih diperhatikan oleh wakil rakyat atau pemerintah.
Begitu skeptisnya sikap terhadap politik sampai masyarakat sudah tidak peduli apakah wakil rakyat bekerja sungguh-sungguh untuk memperjuangkan aspirasi mereka atau tidak. Sudah menjadi rahasia umum setelah terpilih biasanya janji-janji itu tidak meninggalkan jejak lagi, tanpa bisa dituntut pertanggungjawabannya. Masalahnya ialah karena di satu pihak, tidak ada sanksi yang mengikat atau alasan yang bisa memperkarakan mereka.
Di lain pihak, pemilu yang hanya lima tahun sekali itu sulit untuk dipakai sebagai mekanisme yang efektif untuk memberi sanksi. Memang, harus diakui masih banyak politisi yang sebetulnya punya keprihatinan mendalam untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Celakanya, mereka itu malahan sering tersingkir oleh mesin partai politiknya sendiri. Loyalitas kepada partai dianggap lebih penting daripada prestasi sebagi legislator.
Presiden pertama RI, Soekarno dalam bukunya “Mencapai Indonesia Merdeka” pernah berkata, “Partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau sehingga menjadi jalan terang.” Mengacu pada kondisi perpolitikan kini, cita-cita Soekarno itu terasa utopis.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Lihatlah, ketika masyarakat diserbu virus Corona (Covid-19), mana dan siapa di antara mereka yang mau datang kepada masyarakat? Ketika rakyat menjerit dengan harga masker yang melangit, hand sanitizer yang langka, siapa yang peduli? Tidak ada. Ini karena mereka sudah tidak butuh “suara kita” lagi. Kualitas para wakil rakyat yang seperti ini, sudah selayaknya dicabut mandatnya. Belum lagi, kalau kemudian kita saksikan, betapa mereka tidak memiliki empati terhadap problem masyarakat.