DAERAH  

Serumpun Hijau Nusantara: Puluhan Triliun Kontribusi Kopi Jambi Tidak Dikembalikan

DETAIL.ID, Jambi – Pembangunan di sektor kehutanan yang berkelanjutan secara ekologi dengan dampak  sosial ekonomi yang positif di Jambi perlu terus diupayakan sebagai jalan keluar bagi krisis di sektor kehutanan sejalan dengan upaya nasional untuk menuntaskan target penyelesaian   12.7  juta Hektar Nawa  Cita Jokowi  yang  tertuang dalam   RPJMN 2014-2019.

Demi kepastian hukum dan untuk memproteksi keluarga petani yang masih bergantung pada kawasan hutan maka percepatan akses legal sangat mendesak untuk diberikan sehingga akses penunjang lainnya pasca izin untuk memberdayakan petani secara adil dan merata bisa dinikmati.

Akumulasi konflik kehutanan Masa lalu

Konflik agraria dan krisis kehutanan sebagai dampak dari sistem yang tidak berkeadilan, dan ketimpangan agraria itu sendiri. Perusakan hutan yang massif serta ekploitasi masa lalu baik terstrukur maupun sporadis merupakan warisan dari kebijakan penguasa sebelumnya.

Di Merangin  pasca reformasi Ex-HPH PT Sarestra 2, PT Injapsin,  PT Nusa Lease Timber cooperation telah meninggalkan areal konflik seluas 118.955 ha, dalam  dua dasa warsa  terakhir saat ini 40.000 ha kawasan hutan  telah menjadi areal perkebunan kopi rakyat sebagai produk  komoditas unggulan di Merangin Jambi.

Feed Back atas kontribusi 40.000 ton lebih biji Kopi

Perkebunan kopi  rakyat seluas lebih dari 40 ribu ha telah menjadi “Icon Kesejahteraan” di Merangin Jambi. Secara faktual kopi telah menghidupi dan menggerakkan ekonomi puluhan ribu   masyarakat lokal dan keluarga petani dengan transaksi diperkirakan 10 triliun.

Dalam peraturan menteri keuangan PMK 89/PMK.010/2020 Kopi, Kakao dan cerngkeh  tidak digolongkan  sebagai tanaman pertanian Non BKP dengan tarif efektif 1%. Namun, kopi termasuk Jenis produk perkebunan Barang Kena Pajak  (BKP) saat diekspor dikenai  Pajak Pertambahan Nilai  (PPN) sebesar 10%.

Jadi, kontribusi petani kopi di Jambi pada kas negara yang disetor pada  Kementerian keuangan sebesar Rp 1 Trilun per tahun. Artinya satu keluarga petani yang menghasilkan 1 ton kopi kering dengan  basis harga yang  ditebar eksportir berbasis 25.000/Kg maka petani memiliki beban sebesar 2.500.000/tonase yang dihasilkan pe rhektar kopi untuk dibayarkan melalui pemotongan harga oleh tauke atau pengepul dan eksportir, belum termasuk beban angkut dan lain-lain.

Peran petani kopi dalam pembangunan nasional sangat stategis, namun sangat disayangkan untuk komoditas kopi belum masuk dalam prioritas RUU HKPD (Rancangan Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah). Sementara, Komoditas Sawit DBH-nya sudah masuk prolegnas dengan DBH bagi daerah penghasil sawit akan dikembalikan sebesar 25% untuk kemajuan daerah.

Ke depan potensi PAD Provinsi Jambi dari Sawit dengan luas perkebunan 1.8 juta hektar diharapkan mampu menjadi bagian dari PAD sebagai komoditas unggulan sebagaimana seperti daerah penghasil tembakau di mana 50% dari DBH CHT dikembalikan untuk pembangunan daerah sebagai daerah penghasil Tembakau.

“Dampak dari lambannya akses legal selama belasan tahun membuat daerah kehilangan PAD potensial  puluhan triliun dari komoditas unggulan seperti Sawit dan Kopi yang digadang-gadang,  Jambi mestinya jauh lebih maju dengan Dana Bagi Hasil (DBH) atas Barang Kena Pajak (BKP) untuk komoditas unggulan. Tidak hanya beban tarif yang memberatkan petani tapi bagaimana eksekutif dan legislatif  memperjuangkan DBH ini hingga Menteri Keuangan memiliki dasar hukum untuk  bisa mengeluarkan  peraturan keuangan melakukan transfer ke daerah sebagai feedback dari apa yang petani bayar selama ini,” Azhari Ketua Umum Serumpun Hijau Nusantara (SHN).

Estimasi yang dibayar per tahun oleh keluarga  petani kopi di Jambi sampai dengan  sebesar 5 juta rupiah tiap tahunnya selama belasan tahun ini tidak berjalan seimbang dengan infrastruktur di perkebunan kopi yang masih belum memadai serta akses pelayanan umum dan sosialnya masih jauh dari harapan,” tambah Azhari.

Sistem Resi Gudang (SRG)

SHN melalui rilisnya menyebut, Dewan Kopi indonesia (DEKOPI) Provinsi Jambi Edy Priyanto merilis luasan Perkebunan kopi di Provinsi Jambi  lebih 50.000 Hektar dengan komoditas  terbesar  Kopi Robusta sisanya Arabika dan sedikit liberika.

Dekopi menawarkan  Skema Pemasaran Bersama dengan SIstem Resi Gudang (SRG) dan atau dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang “Bekerja Bersama” dengan para pihak khususnya yang sampai saat ini terus berjuang agar standar dan kestabilan harga lebih masif terkontrol dan tentunya akan memberikan feedback dalam bentuk program berkelanjutan bagi  pergerakan lalu lintas kopi di Provinsi Jambi.

“Sinergitas kerja-kerja Pokja PS dengan lembaga seperti DEKOPI ini penting untuk menghilirisasi Kopi dalam kawasan pasca izin, artinya Petani dan Pemerintah Daerah bisa ‘menang banyak’. Bukan sekedar  skema resolusi yang ditunggu d iakar rumput itu saja. Selain mendapatkan proteksi  dan kepastian hukum untuk keberlanjutan sosial dan ekonomi keluarga petani, Daerah mendapatkan benefit PAD yang besar.  Gubernur Jambi al Harris segera megambil tali komando  percepatan Akses legal perhutanan sosial ini dengan perbaharuan SK Pokja perhutanan sosial yg sudah di godok di hotel Aston 2-4  desember  yang lalu,” Nopri Ketua Divisi Advokasi SHN.

Exit mobile version