SETELAH Anji, kini jagad media massa kembali dihebohkan dengan penangkapan Nia Ramadani dan suaminya Ardie Bakri. Nia Ramadhani ditangkap polisi atas dugaan penyalahgunaan narkoba, Rabu, 7 Juli 2021. Sementara Ardie, ia mendatangi Polres Metro Jakarta Pusat setelah Nia Ramadani menghubunginya melalui telepon.
Keduanya ditangkap bersama sopir pribadi mereka yang berinisial ZN. Nia, Ardie, dan ZN dinyatakan positif metamfetamin atau narkoba jenis sabu-sabu berdasarkan hasil pemeriksaan urine. Polisi menetapkan mereka sebagai tersangka dengan barang bukti 0,78 gram sabu-sabu serta satu alat hisap sabu (bong) dan kini tengah menjalani proses penyidikan lebih lanjut.
Peristiwa tertangkapnya Nia Ramadani dan juga Ardie Bakri menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh pesohor negeri ini. Tak lama setelah Anji ditangkap akibat mengonsumsi ganja, kini giliran Nia Ramadani dan Ardie Bakri. Melansir dari Kompas.com, mereka menyatakan mengonsumsi narkoba dikarenakan tekanan dari pekerjaan ditambah lagi dengan beban semenjak pandemi Covid-19 melanda.
Di tengah suasana pandemi seperti saat ini tentunya tak sedikit orang yang mengalami depresi atau tekanan. Pandemi mengharuskan kita untuk membatasi mobilitas, ya walaupun di lapangan tak sedikit orang yang tidak lagi menghiraukan pandemi. Namun peristiwa yang menimpa Nia Ramadani, Ardie Bakri beserta sopir pribadinya bisa menjadi salah satu contoh dari sekian banyak orang yang mengalami tekanan atau depresi akibat pandemi.
Bagaimana tidak, ruang gerak kini dipersempit untuk menekan angka penularan, mobilitas dipersempit, timbul gelombang pengangguran akibat perusahaan tak mampu lagi membayar karyawannya, kemudian kondisi dari para pelajar/mahasiswa yang sudah sangat jenuh dengan sistem pembelajaran online.
Semua persoalan tersebut memang berpotensi untuk mengarahkan seseorang kepada obat-obatan terlarang atau narkoba. Demi melepaskan pikiran dari rasa jenuh atau tekanan, narkoba menjadi salah satu alternatif pelarian. Sekali mencoba, ingin lagi dan lagi sampai kemudian sistem saraf otak mengalami kerusakan dan hilang kendali lalu berujung pada penangkapan oleh aparat berwajib.
Narkoba memang menawarkan rasa atau sensasi yang memungkinkan penggunanya merasakan tenang atau nikmat dalam tempo waktu tertentu. Namun di samping semua itu ada harga yang teramat mahal yang harus dikorbankan oleh si pemakai. Mulai dari harga yang harus digelontorkan untuk memperoleh barang haram tersebut, kerusakan pada sistem saraf otak yang menyebabkan efek samping tertentu apabila tidak dijadikan konsumsi rutin, sampai kepada konsekuensi yang terburuk yaitu kematian akibat overdosis.
Menyadari bahaya tersebut sebenarnya pihak pemerintah sendiri melalui BNN maupun kepolisian dan berbagai Lembaga negara terkait sudah kerap kali melakukankan sosialisasi terkait bahaya penyalahgunaan narkoba sebagai upaya pencegahan kasus.
Terbaru di hari anti narkoba internasional pada 26 Juni lalu BNN mengangkat tema “War On Drugs” yang telah dipopulerkan oleh Jokowi pada 2016. Kemudian upaya penindakan kasus narkoba berupa pengedaran maupun penyalahgunaan melalui instrumen hukum melalui UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Namun, melansir dari laman web BNN, angka penyalahgunaan narkoba pada 2017 mencapai 3,3 juta jiwa dengan rentang usia 10 sampai 59 tahun. Pada 2019 naik menjadi 3,6 juta jiwa. Adapun usia 15 – 35 tahun menjadi yang paling rawan terjerat narkoba, hasil penelitian BNN pada 2018 menyebutkan angka penyalahgunaan narkoba oleh generasi milenial mencapai 2,29 juta jiwa, jumlah yang sangat besar bukan?
Tentunya penelitian ini bisa saja memiliki margin eror, bisa saja jumlah orang yang menyalahgunakan narkoba di lapangan sebenarnya lebih banyak, mengingat luas wilayah dari negara kita ini. Dan tidak tertutup juga kemungkinan bahwa pengguna narkoba sebenarnya tidak sebanyak yang disebutkan.
Akan tetapi angka penyalahgunaan narkoba oleh generasi milenial perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Usia produktif merupakan masa untuk terus berinovasi dan berkarya, pemerintah sebagai perumus kebijakan harus mampu memberikan jaminan perlindungan bagi generasi milenial.
Hukuman pidana kiranya tidak hanya menyasar pengedar atau kurir kecil, karena hampir dapat dipastikan bahwa pilihan menjadi kurir atau pengedar ini merupakan pilihan terakhir untuk tetap bertahan hidup di tengah ketatnya persaingan di sektor formal maupun informal. Di samping itu penindakan hukum yang lebih berfokus kepada para pemain kecil ini rasanya tidak akan berdampak signifikan terhadap dunia gelap peredaran narkoba di negeri ini.
Pelacakan dan penindakan terhadap bandar-bandar besar dengan jaringan berskala internasional perlu digalakkan demi keamanan generasi muda dari bahaya narkotika. Namun untuk sampai pada hal di atas perlu komitmen bersama dari para pemangku kebijakan dari level tertinggi sampai terendah untuk memerangi narkotika.
Jika masih setengah hati, atau skenario terburuk mungkin ada yang melenceng atau melakukan persekongkolan dengan mafia narkoba level internasional akibat godaan nominal materi yang sangat besar dari bisnis haram narkoba. Maka akan sangat sulit bagi bangsa ini untuk bisa lepas dari jerat bisnis gelap narkoba.
Semoga saja slogan yang kini sedang ramai menjadi topik sosialisasi yang dibawakan oleh pemerintah yaitu “War On Drugs” tidak hanya slogan semata, tetapi betul-betul diperangi sampai menang. Sehingga BNN maupun kepolisian tidak perlu seletih sekarang lagi dalam menangani berbagai jenis kasus penyalahgunaan narkoba.
*mahasiswa Universitas Jambi