DAERAH  

Dalam Skandal Investasi Rp 230 Miliar, Bank Jambi Dinilai Mengabaikan Prinsip Kehati-hatian, Al Haris: Kita Akan Panggil Jajaran Bank Jambi

Skandal Investasi Rp 230 Miliar
Sekda Provinsi Jambi, Sudirman SH MH saat diwawancarai. (DETAIL/Jogi)

DETAIL.ID, Jambi – Sekdaprov Jambi, Sudirman SH MH mengatakan bahwa opini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun pimpinan Bank Jambi terhadap skandal investasi Bank Jambi senilai Rp 230 miliar positif, dan tidak ditemukan kerugian.

“Masih ada dua persepsi, yang satu menilai ini sebuah kerugian, sebaliknya yang kedua menganggap ini bukan kerugian. Versi Bank Jambi dan OJK, tidak ada persoalan,” katanya kepada detail pada Kamis, 8 Juli 2021.

Terhadap dua persepsi itu, menurut Sudirman, harus ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) di depan seluruh Anggota DPRD Provinsi Jambi

“Saran saya terhadap dua persepsi itu, sebaiknya diadakan RDP, biar clear persoalan ini. Yang jelas sejauh ini tim dari Pemda sedang mengkaji, belum ada kesimpulan terhadap persoalan itu,” ujarnya.

Namun pernyataan Sudirman ini justru dibantah oleh sumber detail. Menurutnya, OJK justru punya penilaian yang negatif terhadap Bank Jambi. Bank Jambi dinilai justru berinvestasi di saat PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance dinyatakan tidak sehat.

Pihak Bank Jambi sebenarnya sudah mengetahui bahwa kredit SNP Finance di Bank Mandiri senilai Rp 1,4 triliun macet. Saat itu, SNP Finance meminta fasilitas restrukturisasi pada 30 September 2016, dengan cara meminta perpanjangan jangka waktu kredit.

Sementara Bank Jambi berinvestasi ke SNP Finance pada tahun 2017. Padahal, OJK telah menyatakan bahwa SNP Finance telah memiliki Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Checking Call 5, yaitu: lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar dalam pengawasan LBH 93 hari, diragukan lebih 140 hari, dan macet lebih dari 6 bulan.

SLIK adalah catatan informasi terkait riwayat debitur bank dan lembaga keuangan lainnya, dalam hal ini terutama informasi mengenai lancar atau tidaknya pembayaran kredit. Sistem tersebut mengganti peran Sistem Informasi Debitur (SID) milik Bank Indonesia atau yang sebelumnya biasa disebut BI Checking.

Nah, sesuai hasil pengecekan SLIK terhadap SNP Finance, diketahui bahwa kolektibilitas kredit SNP Finance posisi Agustus 2018 telah dilaporkan dengan kolektibilitas terburuk 5 (BCA, Bank Sinarmas, Bank Victoria Internasional dan Bank Nusantara Parahyangan). Dari hasil cetak SLIK, diketahui juga bahwa fasilitas kredit SNP Finance pada Bank Mandiri memiliki riwayat pernah direstrukturisasi pada 30 September 2016.

Dengan demikian, Bank Jambi dinilai dalam pengambilan keputusan pembelian MTN SNP Finance kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dan Good Corporate Governance (GCG).

Good Corporate Governance (GCG) adalah prinsip tata kelola perusahaan yang baik, yang dibangun untuk menciptakan kepercayaan stakeholder terhadap perusahaan. Prinsip ini diambil dari good governance atau tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.

GCG dipercaya sebagai praktik terbaik dalam sistem ekonomi pasar untuk mendorong persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Praktik ini juga diarahkan untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Pedoman Umum GCG bukan merupakan aturan hukum yang mengikat, melainkan etika yang menjadi acuan bagi semua perusahaan dalam menjalankan bisnis secara baik.

Skandal kasus Bank Jambi yang disebut-sebut ikut menyertakan modal Rp 230 miliar ke PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance — anak usaha Grup Columbia yang bergerak di bidang pembiayaan untuk pembelian alat-alat rumah tangga.

Hal tersebut diketahui dari proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang kini tengah dijalani oleh Sunprima melalui perkara 52/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst. Jo. 10/Pdt.Sus-Pailit/2018/PN Niaga Jkt.Pst.

Dalam proses PKPU ini sendiri, telah ditetapkan tagihan Sunprima senilai Rp 4,07 triliun dari 14 kreditur separatis (dengan jaminan) dari pihak perbankan dengan nilai Rp 2,22 triliun, dan 336 kreditur konkuren (tanpa jaminan) yang merupakan pemegang MTN dengan tagihan senilai Rp 1,85 triliun.

Menariknya, dari 14 pihak perbankan itu, salah satunya adalah Bank Jambi yang disebut-sebut telah menyetorkan sejumlah dana Rp 230 miliar pada tahun 2017.

Dari 14 kreditur perbankan, jumlah setoran Bank Jambi Rp 230 miliar menempati posisi tiga teratas, di bawah Bank Mandiri dengan tagihan Rp 1,4 triliun dan Bank BCA Rp 210 miliar

Dana itu diduga disetor saat kepemimpinan M. Yani menjabat sebagai Direktur Utama Bank Jambi periode 2016-2020. Kepemimpinannya berakhir pada 12 Januari 2020.

Pada Maret 2020, jabatannya diganti oleh DR H Yunsak El Halcon SH MSi. Pria kelahiran 8 Desember 1964 itu sebelumnya adalah Direktur Pemasaran dan Syariah periode 2016-2020.

Namun M. Yani justru memilih bungkam saat dikonfirmasi. “Saya tidak di situ (Bank Jambi) lagi. Tolong tanyakan ke direksi yang sekarang,” katanya langsung mematikan telepon pada Rabu siang, 23 Juni 2021.

Setelah telepon dimatikan, Yani hanya menjawab singkat melalui pesan WhatsApp. “Iya, mas, kewenangan beliau untuk menjawab,” ujarnya.

Kasus investasi Rp 230 miliar sudah menjadi perhatian DPRD Provinsi Jambi. Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto mengatakan bahwa pihaknya akan mendalami persoalan tersebut secara serius.

“Bisa jadi RDP terlebih dahulu, kita akan panggil eksekutif sebagai pemegang saham dan pihak-pihak terkait,” kata Edi kepada detail lewat pesan WhatsApp pada Rabu, 23 Juni 2021.

Namun Dirut Bank Jambi, Yunsak El Halcon mengatakan bahwa proses tersebut aman-aman saja.

“Aman secara hukum perbankan sudah opini dari OJK, dengan DPRD soal Perda modal bukan penghapusan,” katanya menjawab pesan WhatsApp detail pada Selasa, 22 Juni 2021.

OJK telah memberi tenggat waktu, sampai tahun 2024, modal Bank Jambi harus mencapai Rp 3 triliun bila tetap ingin berstatus bank umum. Jika modalnya di bawah itu, maka statusnya turun menjadi BPR. Sementara, modal Bank Jambi saat ini menurut Sekdaprov Jambi, Sudirman SH MH mencapai Rp 1,6 triliun lebih. Modal Pemerintah Provinsi Jambi sebesar 26 persen.

Menurut sumber detail, Direktur Utama Bank Jambi, El Halcon tampak santai menghadapi polemik pertanggungjawaban penyertaan modal Bank Jambi ke PT SNF Finance. Bagi dia, Bank Jambi adalah Perseroan Terbatas bukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Ia mengacu pada Perda Nomor 16 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 2 tahun 2006 tentang Pengalihan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah BPD menjadi Perseroan Terbatas. Bank Jambi menjadi PT Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Ditemui usai pisah sambut Gubernur Jambi – Plt Gubernur Jambi, Kamis malam, 8 Juli 2021, Al Haris mengaku akan mempelajari persoalan investasi Bank Jambi tersebut.

Bahkan, dalam waktu dekat ia akan memanggil jajaran Bank Jambi untuk membahas persoalan investasi bernilai Rp 230 miliar tersebut.

“Nanti akan kita panggil pengawas, direksi dan para Komisaris Utama Bank Jambi,” kata Al Haris yang juga mantan Kepala Biro Umum Setda Provinsi Jambi ini, kepada media.

Pada rapat dengan jajaran Bank Jambi itu, ia akan melihat dan mempelajari secara teknis persoalan apa yang sebenarnya mendera di tubuh Bank Jambi. “Intinya kita akan pelajari teknis persoalannya apa,” ucap Al Haris.

 

Reporter: Jogi Sirait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *