Di TENGAH hiruk-pikuk akan nasib dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK, kini masyarakat Indonesia kembali dibuat gaduh oleh rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Adapun rencana kenaikan PPN ini bukan tanpa alasan yang kuat, melansir dari laman web bisnis.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan bahwa peningkatan tarif PPN merupakan salah satu langkah untuk melakukan reformasi perpajakan yang sehat, adil, dan juga kompetitif demi mendorong realisasi target penerimaan pajak.
Namun belakangan, wacana kenaikan PPN ini menuai banyak sekali kritik di dunia maya mulai dari berbagai kalangan masyarakat sampai kepada para wakil rakyat sendiri di DPR ramai-ramai melontarkan kritik dan menolak wacana kenaikan PPN. Tak bisa dimungkiri, jika pandemi Covid-19 yang terus berlanjut hingga hari ini telah memberi pukulan besar terhadap sektor perekonomian masyarakat.
Wacana kenaikan PPN yang meliputi sembako, pendidikan, dan juga sosial yang merupakan bagian dari objek PPN, mendapatkan pembahasan yang cukup ramai di dunia maya sekaligus mengundang pertanyaan besar terhadap para pemangku kebijakan negeri ini, ada apa dengan pemerintah khususnya Menteri Keuangan yang menghendaki kenaikan PPN di tengah keterpurukan kondisi perekonomian masyarakat?
Apakah Indonesia saat ini juga sedang mengalami keterpurukan di sektor ekonomi yang mengharuskan untuk memajaki masyarakat sendiri dengan jumlah yang lebih besar, sehingga diperlukan skema peningkatan PPN?
Melansir dari laman web katadata.co.id, Kementerian Keuangan mencatat realisasi pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) sebesar Rp 584,99 triliun pada April 2021, tumbuh sebesar 6,47% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 549,44 triliun. Realisasi pendapatan negara tersebut juga mencapai 33,55% dari target untuk kuartal 1 sebesar Rp 1.743,7 triliun. Data tersebut melaporkan bahwa negara sebenarnya mengalami pertumbuhan ekonomi dan sedang berangsur-angsur menuju pemulihan ekonomi.
Tren pertumbuhan ekonomi inilah yang seharusnya tetap dijaga dan ditingkatkan demi pemulihan ekonomi nasional. Salah satunya melalui pelaksanaan evaluasi terhadap program pemberian stimulus atau kredit terhadap para pelaku UMKM untuk kemudian dilanjutkan kembali, serta pengadaan pelatihan di bidang UMKM demi mendongkrak produktivitas dalam negeri yang diiringi dengan menjaga kesesuaian harga di tingkat konsumen, kemudian mendorong pemanfaatan teknologi di sektor industri pertanian atau perkebunan demi peningkatan produktivitas. Hasilnya, produktivitas dan konsumsi masyarakat dalam negeri bisa disejajarkan demi mendorong kepada pemulihan ekonomi nasional setelah hampir mengalami resesi akibat pandemi Covid-19 tahun lalu.
Namun dinamika kebangsaan yang terjadi belakangan, dimulai dari bocornya wacana peningkatan PPN yang diatur dalam draf RUU Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) turut memperlihatkan gambaran memprihatinkan dari bangsa yang dikuasai para oligarki ini.
Salah satu ketentuan yang banyak menuai sorotan publik yaitu pasal 4A RUU KUP yang menghapuskan sembako dari kategori barang yang tidak dikenakan PPN, dengan kata lain berarti sembako akan dikenakan PPN. Perluasan objek PPN ke dalam bahan pangan merupakan hal yang sangat berisiko. Pasalnya, hal ini kemungkinan besar akan berakibat pada naiknya harga barang kebutuhan pokok yang tentu akan menurunkan tingkat konsumsi atau daya beli dari masyarakat, belum lagi berbicara inflasi sebagai dampak terburuknya.
Kemudian persoalan krusial PPN berikutnya yaitu, pencatutan sekolah sebagai objek Pajak melalui revisi UU Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), jika wacana ini nantinya ditetapkan, kemungkinan biaya pendidikan akan mengalami kenaikan kemudian anak-anak dengan latar belakang keluarga miskin menjadi putus sekolah karena ketidakmampuan dari segi ekonomi.
Ini merupakan suatu ancaman serius terhadap dunia pendidikan sekaligus pengingkaran terhadap tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang di mana salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemerintah harus mempertimbangkan segala konsekuensi logis pada saat memutuskan suatu kebijakan, terutama bagi kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Wacana peningkatan PPN demi mengisi kekosongan keuangan negara tak jauh beda rasanya dengan merencanakan pemerasan kepada rakyat di saat pandemi Covid-19 memberi pukulan hebat terhadap perekonomian rakyat sendiri. Pemerintah dan para pemangku kebijakan terkait seharusnya bisa lebih kreatif dalam mencari solusi atas permasalahan keuangan terjadi.
*Mahasiswa Universitas Jambi