OPINI  

Jangan Baper, Disabilitas Juga Mampu Berkarya!

TAK SEORANG pun yang bisa menjamin bahwa dirinya akan selalu baik-baik saja. Siapa pun akan bisa berpotensi menjadi seorang disabilitas. Kapan pun dan di mana pun.

Saya adalah salah satu contohnya. Saya terlahir normal. Pada tahun 1998, saat berusia 14 tahun, saya mengalami kecelakaan. Saya berubah menjadi seorang disabilitas. Saya tak pernah menyangka sama sekali. Apa pun keadaannya, saya harus tabah menerimanya.

Mau contoh lain? Tengoklah kisah Susrial, warga Sebapo, Kabupaten Muarojambi, Jambi ini. Ia adalah seorang pedagang yang mengalami kebutaan pada tahun 2000. Susrial buta akibat panas yang terlalu tinggi. Mata kirinya meletus. Padahal sebelumnya, dia baik-baik saja.

Ada lagi cerita Heru. Kaki kanannya harus diamputasi akibat kecelakaan saat mengendarai mobil menuju lokasi kerja.

Lain hal dengan Heru, yang harus rela diamputasi kaki kanannya karena kecelakaan mobil ketika dalam perjalanan menuju tempat kerja.

Tahukah Anda bahwa seorang disabilitas tidak pernah menyadari bahwa suatu ketika dirinya akan berubah menjadi disabilitas dengan beragam peristiwa. Entah itu kecelakaan atau peristiwa lain.

Apalagi sekarang, penyakit yang paling menghantui negeri kita saat ini, yaitu diabetes. Obatnya belum ditemukan hingga kini. Paramedis selalu memberi solusi agar mengamputasi bagian tubuh agar penyakit tersebut tidak menyebar ke bagian tubuh lain.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Terkecuali bagi orang yang terlahir menjadi seorang disabilitas. Tapi orang tua mana pun tak akan pernah menyangka bahwa suatu hari mereka harus menerima bahwa anaknya akan terlahir sebagai anak yang menyandang disabilitas. Hal itu bisa saja terjadi pada siapa pun baik pada kita, anak, orang tua, saudara bahkan teman kita.

Lalu bayangkan jika suatu ketika, Anda mengalami keadaan seperti itu. Tentu berbagai bayangan mengerikan akan terus menghantui Anda.

Hal serupa juga saya alami saat awal mengalaminya. Tangan sebelah kanan saya diamputasi. Saat itu, saya membayangkan masa depan saya akan suram di masa mendatang.

Pikiran itu terlintas begitu saja. Bagaimana saya mampu bertahan dengan kondisi disabilitas? Bagaimana saya bisa bersosialisasi dengan masyarakat? Bagaimana kisah cinta saya besok?

Semua hal yang buruk dan suram terlintas dalam benak saya. Tetapi itu dulu.

Saya berusaha sekuat tenaga untuk tetap bersyukur menerima keadaan ini. Loh kok malah bersyukur? Saya menjadi kuat karena membangun rasa bersyukur. Hanya itu.

Kenapa? Rasa syukur dan ikhlas itulah yang membuat kita menjadi sabar dan lebih jernih dalam memandang keadaan. Ada harapan yang kuat. Hal pertama yang harus disyukuri ialah bersyukur karena kita masih hidup, tidak mati.

Bersyukur karena kita masih diberi kesempatan untuk memberikan manfaat pada kehidupan. Bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa organ tubuh kita yang hilang tak lagi dimintai pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Itu awal yang membuat saya kuat dalam menerima kenyataan saat itu.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Dari situ saya mulai mencari jawaban atas semua yang terjadi pada saya. Saya percaya bahwa dengan Tuhan memberikan saya kesempatan tetap hidup, pasti ada rencana indah yang dijanjikan Tuhan untuk saya ke depan.

Lalu setelahnya, saya berusaha menggali potensi yang saya punya. Anda juga harus tahu bagaimana mengembangkan potensi saat Anda menjadi seorang disabilitas. Itu wajib hukumnya.

Dahulu saya melakukan hal yang sama. Terus menerus saya mengidentifikasi diri dengan cara mencari tahu lebih dalam siapa saya, di mana saya, apa yang saya punya dan apa yang akan saya lakukan dengan semua hal tersebut.

Dari itu semua, saya menyadari bahwa saya tak punya apa-apa. Saya hanya seorang yatim piatu yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Satu hal yang saya tahu adalah saya punya keinginan untuk tampil dan belajar serta terus belajar.

Saya tinggal di Kota Jambi dan punya beberapa orang teman. Saya bertekad harus terus mengasah kemampuan dengan terus menambah teman dan mengembangkan jaringan, sehingga dapat membuka kesempatan yang lebih besar.

Lalu bagaimana bila Anda harus berhadapan dengan banyak orang dalam berkarya dan berkreativitas? Menurut saya, seorang disabilitas jangan takut untuk memulai dan berbuat. Tanamkan keyakinan pada target yang kita tuju. Jangan baper (bawa perasaan). Terbukalah terhadap masukan dari orang lain.

Sederhananya, dengarkan kritikan dan masukan orang tanpa melihat ekspresinya pada kita. Saya sendiri melakukan itu dengan konsisten. Dengan impian yang terus saya gantungkan setinggi langit. Sedikit pun saya tak gentar. Saya yakin.

Cibiran itu soal biasa. Diskriminasi itu bumbu untuk penikmat karya. Saya sudah kenyang.
Bahkan saya pernah dilarang tampil di sebuah televisi dengan alasan “kecacatan” yang dianggap dapat mengurangi selera penonton dan menurunkan rating. Itu kan gila! Saya tak patah semangat. Ujung-ujungnya, saya tetap ngotot tampil dan membayarnya dengan memberikan hiburan yang terbaik.

Jika ada orang yang berkata “di balik kekurangan pasti ada kelebihan” justru saya sendiri menganggap bahwa kekurangan itu adalah sebuah kelebihan. Buktinya, kekurangan fisik saya justru membuat saya lebih cepat dikenal dalam sebuah perkumpulan. Secara tidak sengaja pula telah terbangun personal branding yang melekat pada diri saya. Tanpa perlu repot-repot membentuk karakter yang khas.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Contoh berikutnya adalah bermain gitar. Rasanya mustahil, seorang disabilitas seperti saya dengan amputan tangan kanan mampu bermain gitar. Saya menjawabnya dengan membuat gelang khusus sebagai alat bantu untuk bermain gitar.

Alhasil, tangan saya yang sebelumnya dianggap hanya sepotong daging yang tak bermanfaat, berubah menjadi perhatian positif bagi banyak orang. Tidak jarang mengundang decak kagum penonton.

Beranjak dari itu, maka lahirlah berbagai karya-karya musik saya. Menang di berbagai lomba. Dimintai tolong untuk menjadi penata musik. Dari situ pula tercipta puluhan lagu. Saya pun pernah melukis hanya dengan abu rokok dan ampas kopi. Bukan karena sensasi, namun saat itu memang saya tidak mampu untuk membeli cat. Hanya demi memenuhi hasrat untuk melukis dan hal itu ternyata berbuah positif. Banyak orderan dan jadi perhatian para pewarta.

Andai suatu ketika Anda menjadi disabilitas. Hal yang juga perlu Anda ketahui ialah seringnya kehadiran kita (disabilitas) hanya untuk dikasihani. Bagi seorang disabilitas hal itu sama sekali tidaklah berdampak baik. Saya sendiri menjawab persoalan tersebut dengan berkarya, menambah jam belajar. Kebetulan saja, saya menggeluti dunia kesenian.

Saya berjaga ketika orang-orang tengah terlelap. Saya belajar mengembangkan diri agar dapat menghindari rasa kasihan orang lain. Saya bergaul tanpa pandang bulu. Semuanya saya jalani demi mencari pengalaman sosial. Saya yakin itu semua bermanfaat di masa mendatang.

Kemudian saya mengambil kesempatan dan peran lebih awal. Saya berusaha membantu lebih dulu sebelum orang lain membantu kita.

Ini memang logika terbalik, tapi itu yang mungkin bisa mencerahkan pandangan umum mengenai disabilitas. Mungkin itu juga motivasi bagi saya yang seorang disabilitas untuk terus mengembangkan diri dan mengukir karya.

Teruslah bermimpi, karena mimpi itu juga milik disabilitas. Kerja keras pun milik disabilitas. Gagasan, kreativitas, harapan, dan keberhasilan, pengabdian, itu semua berhak untuk dimiliki seorang penyandang disabilitas. Dengan menjadi manajer bagi diri sendiri dan tanpa bergantung banyak kepada orang lain, bukan tak mungkin, Anda seorang disabilitas akan siap menghadapi kehidupan ini. Siap dalam berbagai hal, termasuk siap dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang kini terus mendera kita.

Anda juga mesti tahu bahwa seorang disabilitas butuh berbagi. Berbagi kepada semua orang, khususnya kepada disabilitas juga. Bagikan dan abdikan sebagian hidupmu untuk disabilitas yang lain. Barangkali saja, Tuhan memberi pertanda padamu. Bahwa kecacatanmu itu adalah jalan agar dapat mengabdi pada bangsa dan agama lewat pengabdianmu kepada disabilitas.

Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa proses gradasi spiritual, sosial dan emosi akan membentuk seorang disabilitas. Bahwa tentang seorang disabilitas harus mampu bersaing, saya kira tidaklah demikian. Seorang disabilitas hanya butuh kesempatan yang sama agar dapat mengembangkan diri dan mengukir karya.

*Ketua NPC Muarojambi dan seniman sekaligus petani, tinggal di Jambi

 

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *