Amao “Maoyuzai”: Dari Selebriti Komedi Memilih Jalan Sunyi Menjadi Petani Kreatif

Sejak tahun 2019, Amao dan keluarga memilih tinggal di pinggiran Kota Jambi. (koleksi pribadi)

Komedian satu ini sudah belasan tahun menghibur warga Jambi. Ia justru memilih berkebun dan hidup tenang. Begitu pun, seniman disabilitas ini terus berkarya dan mencipta lagu lewat Youtube.

SEJAK dua tahun terakhir Amao justru memilih hidup tenang tinggal di pinggiran Kota Jambi. Ia menggarap beragam tanaman di atas tanah milik mertuanya seluas kurang lebih enam hektare. Ia tanam macam-macam: cabe, ubi, sayur mayur, dan lain-lain.

Buat tinggal bersama istrinya, Wulandari dan kedua anaknya, Kinkin dan Galang, Amao membangun rumah pondok bergaya panggung sederhana berukuran 6 x 9 meter.

Di depan rumah terhampar kolam ikan berukuran 15 x 50 meter yang berisi sekitar 60.000 ekor ikan nila, yang dipanen setiap enam bulan sekali.

“Saya tinggal di sini sejak tahun 2019 saat meteran listrik belum terpasang. Kami benar-benar nyaman tinggal di sini. Bisa bertani sambil terus berkarya. Koneksi internet lumayanlah, jadi tetap bisa berkreasi dan mengisi konten Youtube,” katanya kepada detail pada Rabu, 2 Juni 2021.

Namanya seniman, ia tetap berkarya di rumah, memanfaatkan ruang yang terbatas. Ia melibatkan istri dan kedua anaknya: Kinkin dan Galang, yang juga pintar akting. Ia mencurahkan karya-karyanya lewat kanal Youtube dengan akun Abdul Amao yang dibuatnya sejak tahun 2012.

Amao bernama lengkap Andi Pradinata. Ia lahir di Kota Jambi pada 16 Agustus 1984. Ia adalah bungsu dari tujuh bersaudara. Ia lahir normal. Pengalaman pahit yang selalu diingatnya adalah peristiwa kecelakaan pada tahun 1998, saat Amao berusia 14 tahun.

Amao tersengat listrik sehingga tangannya sebelah kanan cacat. Tangan sebelah kanan kala itu mesti diamputasi hingga di atas siku lengan.

Bakat seni Amao sebenarnya sudah muncul sejak duduk bangku sekolah dasar kelas lima. Ia sering menulis puisi dan cerpen yang diterbitkan di media lokal di Jambi. Yang paling dia ingat adalah puisi berjudul “Gempa Kerinci” pada tahun 1995.

ACARA KOMEDI: Amao (ketiga dari kiri) bersama grupnya Plegek ketika tampil dalam acara komedi di televisi lokal Jambi. (koleksi pribadi)

Nama Amao pertama kali keluar dari mulut keponakannya yang masih balita. Ia lupa nama keponakannya itu. “Mungkin mau panggil nama Andi susah jadi yang terucap justru nama Amao,” ujar Amao. Seingatnya, nama itu muncul sebelum Amao berusia 14 tahun. Jadilah nama itu melekat hingga kini.

Ia belajar bermain gitar justru setahun setelah menjadi disabilitas, saat usia 15 tahun. Ia bikin sendiri gelang khusus agar bisa memainkan gitar. Dua tahun kemudian, Amao sudah mulai mengamen bersama teman-temannya hasil belajar musik secara otodidak.

Pada tahun 2007, Amao bersama rekannya menjuarai Festival Pengamen Nasional tahun 2007. Ia benar-benar seniman serba bisa. Ia terus berkarya dan mempelajari semua jenis seni. Dari seni sastra, teater, lukis hingga komedi.

Tahun 2005, Amao dengan nama panggung Maoyuzai bersama kedua rekannya: Zidan dan Yudi membentuk grup komedi Plegek. Setahun kemudian, Plegek menjuarai lomba Komedi se-Sumatra di Palembang, Sumatra Selatan. Sejak itulah, Plegek dikontrak Palembang TV sebanyak 10 paket acara komedi selama 2 bulan.

Tahun itu pula, Plegek mengikuti audisi Akademi Pelawak Indonesia (API) dan bertemu dengan komedian Sule. Namun langkah Plegek terhenti di babak penyisihan. Mereka pulang ke Jambi dan langsung dikontrak TVRI Jambi selama dua tahun. Pada saat yang sama, mereka juga dikontrak selama dua tahun oleh televisi lokal, Jambi TV.

KONTEN: Amao sering membuat konten di Youtube melibatkan kedua anaknya yang lucu. (koleksi pribadi

Tahun 2010, Amao bersama dua rekannya yang lain mendirikan Production House (PH) Jendela Art Production. PH itu langsung menggarap film Sepasang Sayap Angin – sebuah film pendek yang berdurasi 40 menit, yang menceritakan tentang masalah disabilitas.

Film itu dirilis pada awal 2011 dan sempat meraih juara ketiga di ajang Festival Film Jambi pada tahun 2015. Amao mengerjakan banyak hal. Dari menulis skenario, script, soundtrack sampai menjadi sutradara.

Pada tahun 2012, Amo mulai menggarap bisnis seperti makanan, pesta pernikahan (papan ucapan), MC pesta pernikahan sampai menggarap pertanian di kebun milik mertuanya serta indekostnya. Pada tahun itulah, Amao melepas masa lajang dan menikahi Wulandari.

Kini, bisnis makanan dan pesta pernikahan telah ditinggalnya. Praktis dia hanya bertani dan berkarya serta berkegiatan sosial. Ia ditunjuk menjadi Ketua NPC (National Paralympic Committe) Muarojambi sejak tahun 2017 hingga sekarang.

Kenapa memilih tinggal di rumah yang sekarang? “Saya ingin menjadi diri sendiri. Tidak ingin terikat yang pada akhirnya mengikat diri sendiri. Berkarya untuk mencari manfaat. Bagi saya, uang hanya efek. Lihatlah karya-karya saya sarat pesan moral,” katanya.

Karya-karya Amao memang banyak bertema masalah-masalah sosial. Dari soal masalah orang di kampungnya yang rela berutang demi menjaga gengsi untuk menggelar pesta pernikahan. Bahkan ada yang menjual tanah atau bahkan sampai berutang demi menjaga gengsi.

Ada 9 lagu yang telah melalui proses pencampuran audio (mixing) yang dikemas dalam satu album. Video klip dan suara dalam album itu tidak hanya diisi oleh Amao, akan tetapi juga melibatkan istri dan kedua anaknya.

Album itu, diberi label Keluarga Abdul Amao. Beberapa judul lagu di antaranya, Suami Takut Bini, Celano Koyak. Semua lagu berbahasa Melayu Jambi dengan terjemahan bahasa Indonesia.

“Baru 9 lagu ini telah mixing. Sementara masih belasan lagu lagi yang belum diproses lewat mixing. Semuanya, berisi pesan moral bagi masyarakat. Misalnya jual beli tanah, atau mahar pernikahan yang terlalu atau penyakit sosial lain. Semua disajikan ala komedi dengan genre musik Melayu Jambi,” tutur Amao.

 

PERSAWAHAN: Amao saat sedang di lokasi persawahan. (koleksi pribadi)

Hingga sekarang Amao masih terus produktif menciptakan sekaligus mengaransemen lagu seraya mengisi konten komedi pendek di Youtube.

Ia mengerjakan sendiri. Dari lirik sampai komposisi musik. Tadinya, dia berencana untuk meluncurkan pada akhir tahun 2020 namun tertunda. “Mungkin awal Juli 2021. Ya menjadi pengisi waktu saya, saat tidak ada aktivitas di kebun atau saat bertemu rasa,” kata Amao.

Proses terciptanya dengan durasi bervariasi, ada lagu yang tercipta beberapa bulan belakangan di masa pandemi maupun 3 tahun lalu. Ia merasa sebagai seniman belum bisa disiplin soal waktu. Selain itu, sambil menunggu momen dan iklim dunia musik di Jambi benar-benar membaik.

Bagi Amao kreativitas itu tak mengenal ruang dan waktu. Semua orang mampu melakukannya, baik yang cacat maupun tidak. Bagi dia pula, tak ada satu pun yang cacat di muka bumi ini sambil mengutip ucapan Wiliam Shakespeare.

“Semua orang itu tak ada bedanya, baik yang cacat maupun yang tidak. Yang membedakan hanya kreativitas. Selama manusia itu punya ide, kreativitas dan bisa merealisasikan, maka manusia itu tak akan pernah cacat,” ucapnya.

Ia justru santai menghadapi Covid-19. Baginya, pandemi Covid-19 memang mengubah peradaban namun justru melahirkan kewaspadaan. Ia merasa kebutuhan hidup dirinya sekeluarga telah tercukupi dari hasil berkebun sehingga bisa terus berkarya tanpa henti.

“Saya itu karena sering bekerja di bidang kreatif, maka setiap memandang masalah itu dengan ringan dan diselesaikan dengan kreativitas. Proses kreativitas pasti mampu mengalahkan keadaan,” ujarnya.

Kini, dia hanya memikirkan dua hal yaitu keluarga dan kaum disabilitas. “Tahap awal bagaimana merehabilitasi mental dan pola pikir. Selanjutnya baru menggali potensi dan mengembangkan diri,” ujarnya.

Bagi Amao, kekurangan justru sebuah kelebihan ketika mampu membalikkannya. Ia berkata kekurangan fisik justru membuatnya lebih cepat dikenal dalam sebuah perkumpulan atau di tengah-tengah masyarakat. Secara tidak sengaja pula telah terbangun personal brandingnya. Tanpa perlu repot-repot membentuk karakter yang khas.

“Disabilitas jangan dianggap beban. Kaum disabilitas justru harus mampu berkontribusi bagi negara, sepanjang diberí kesempatan yang sama dengan nondisabilitas,” katanya.

 

Reporter: Jogi Sirait

Exit mobile version