OPINI  

Menjelang Piala Bergilir Pilkada (Keluarga)

Pilkada

PASCA demokrasi digulirkan setelah reformasi, demokrasi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan untuk sebagian orang. Salah satu yang menjadi permasalahan dalam demokrasi di Indonesia adalah menjangkitnya politik dinasti. Praktik ini makin subur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik.

MK membatalkan pasal 7 huruf (r) Undang- Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Wali Kota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Begitu pula Peraturan KPU maupun Surat Edaran KPU mengenai petahana. Sebab, keluarga petahana bisa mencalonkan diri untuk maju di dalam pilkada menggantikan keluarganya. Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan politik dinasti pada pilkada di Indonesia, titik awal buramnya politik praktis di Indonesia sebagai negara demokrasi di Asia Tenggara. MK tidak mempertimbangkan negara Indonesia sebagai negara republik bukan kerajaan.

Persoalan ikut mengikuti jejak kerabat dan sanak saudara dalam dunia politik di Indonesia memang bukan hal baru dan tampaknya belum akan mereda. Konstitusi membenarkan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Kecuali ada putusan pengadilan yang inkrah telah mencabut hak politiknya.

Dalam dinasti politik tidak pernah mengukur kapasitas dan kapabilitas. Hubungan kekeluargaan mengalahkan kriteria prestasi. Jabatan-jabatan politis digilir dan diperebutkan oleh orang-orang yang masih dalam lingkaran trah keluarga. Proses injeksi publisitas dan uang merupakan hal yang paling dominan untuk mendapatkan kekuasaan.

Politik kekerabatan sebenarnya sudah muncul sejak lama, awal gejala politik tersebut sudah ada ketika gejala patrimonialistik. Dalam sistem patrimonial, sistem yang digunakan adalah sistem regenerasi politik berdasarkan pada ikatan genealogis, ketimbang prestasi dan lainnya. Di era modern ini, sistem tersebut memang tidak digunakan lagi, namun sistem tersebut bertransformasi menyesuaikan dengan sistem demokrasi.

Jika dahulu, pewaris kekuasaan menggunakan sistem tunjuk, maka saat ini sistem yang digunakan melalui sistem politik prosedural. Sanak saudara dimasukkan terlebih dahulu melalui partai politik, baru kemudian dicalonkan melalui mekanisme yang digunakan oleh masing-masing partai. Jadi seolah-olah sistem patrimonial atau dinasti politik ini seperti tidak digunakan, namun sesungguhnya tetap berjalan dengan menggunakan cara yang berbeda.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dinasti politik juga terjadi di beberapa daerah, mengutip riset Nagara Institute yang dilansir di kompas.com (28/10/2020), jumlah calon kepala daerah dari dinasti politik pada Pilkada 9 Desember nanti adalah, 124 kandidat Kepala Daerah yang terdiri dari 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Dari 124 kandidat tersebut, terdapat 67 laki-laki dan 57 perempuan. Dari 57 perempuan itu, sebanyak 29 orang adalah istri dari kepala daerah atau petahana sebelumnya.

Transfer kekuasaan dari pemegang jabatan terpilih kepada anggota keluarga mereka sendiri dapat mengakibatkan tiga pilar demokrasi berada dalam ancaman besar. Sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini dikuasai orang-orang sekerabat. Dinasti politik menciptakan sebuah segitiga piramida dimana seorang pemimpin yang mengangkat dan merangkul sebagian besar keluarganya untuk turut andil dalam urusan politik dan pemerintahan yang dijalankannya.

Akarnya akan menjalar ke seluruh sektor pemerintahan di bawah kekuasaannya serta memperkuat jaringan baru yang bisa tersentuh olehnya. Ironisnya, para kepala daerah yang menggunakan kekuatan dinasti politik ini cenderung korup. Mereka kerap menyelewengkan amanah jabatan dan sekalipun sudah lengser, mereka masih bisa menyetir pemerintahan karena penerusnya dari kalangan keluarga sendiri. Rapat-rapat atau sidang-sidang yang sedianya menentukan hajat orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga.

Karena dinasti politik rentan menciptakan sifat koruptif. Dalam pendekatan teoritis, Lord Acton mengatakan, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan yang mutlak menjadikan seseorang berbuat korupsi. Jika demikian, maka sudah sepatutnya menginduksi masyarakat, sebagai bagian dari penyadaran publik demokrasi untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa dinasti politik cenderung merugikan lantaran menggerogoti anggaran, menyelewengkan kekuasaan dan menghambat terimplementasikannya good governance and clean governance dansebagai filosofi dasar bahwa negara berada dalam kedaulatan rakyat.

Pesannya hanya satu, para pemilih sendiri yang hendaknya harus tegas untuk tidak memilih para kerabat dari yang berkuasa tersebut. Agar memilih kepala daerah yang sesuai dengan hati nurani, bukan karena tren politik dan money politics.

 

*Akademisi UIN STS Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *