DETAIL.ID, Jakarta – Stand Up Comedian Bintang Emon buka suara terkait pelecehan seksual yang masih marak terjadi di Indonesia dan mandeknya proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Maraknya pelecehan seksual terutama verbal, seperti catcalling (sapaan menggoda), diyakini karena minimnya edukasi terhadap masyarakat. Begitu pula dengan masih banyaknya pihak yang menolak RUU PKS terutama karena beredarnya kabar-kabar keliru terkait payung hukum tersebut.
“Memang tidak mungkin 100 persen orang setuju dengan yang kita bawa. Ketidaksetujuan di lapisan masyarakat bisa diatasi dengan mengingat alasan awal membela RUU PKS,” kata Bintang Emon.
“Kalau laki-laki yang baik dan benar tidak takut mengesahkan RUU PKS,” ucapnya.
Bintang menyatakan amat mendukung pengesahan RUU PKS karena hal itu penting bagi masyarakat Indonesia, termasuk orang-orang terdekatnya. Kedekatan dengan saudara-saudara perempuan membuatnya amat menyadari catcalling dan hal serupa lainnya merupakan bentuk pelecehan.
“Banyak [teman atau saudara] perempuan yang saya ga bisa jaga 24 jam. Ketika dengar RUU PKS saya merasa sejalan dengan ini hal yang dibutuhkan dengan saudara-saudara perempuan saya ini,” ucap Bintang Emon.
Menurutnya, hal tersebut yang membuatnya kerap berseberangan dengan beberapa orang di sekitarnya yang masih kerap melecehkan perempuan atau orang lain secara verbal.
Ia menyadari hal tersebut terjadi karena nilai dan ajaran patriarki yang tertanam di masyarakat Indonesia sejak lama. Sehingga, masih banyak yang tak menyadari telah melakukan pelecehan seksual bahkan bisa menjadi korban pelecehan seksual.
“Mereka (teman-teman) ngerasa enggak ada kemungkinan jadi korban pelecehan. Justru ketika ada yang cerita mereka dilecehkan malah dikucilkan dan dianggap menyalahi kodrat laki-laki. Sebegitu kuatnya nilai yang tertanam sejak lama,” ucapnya.
Hal serupa dikonfirmasi Wawan Suwandi, Public Relations Yayasan Pulih, yang mengungkapkan maskulinitas negatif (toxic masculinity) menjadi salah satu penyebab kekerasan seksual masih sering terjadi di Indonesia.
“Perilaku maskulinitas negatif ini menjadi barometer laki-laki dalam mengekspresikan dirinya sebagai laki-laki. Sebuah pemahaman yang salah dalam mengartikan sebagai laki-laki,” kata Wawan Suwandi.
“Contoh dalam hubungan berpasangan, pasangan selalu dikontrol. Kemudian banyak-banyakan pacar dan istri itu juga konteks negative masculinity.”
Oleh sebab itu, ia mendukung redifinisi maskulinitas, serta penguatan dukungan psikologis, sosial, penanganan fisik dan hak kesehatan seksual reproduksi, serta keadilan bagi korban kekerasan seksual yang semuanya masuk RUU PKS.
Aktris sekaligus aktivis Hannah Al Rashid mengungkapkan kesedihannya ketika mengetahui RUU PKS keluar dari prolegnas pada pertengahan 2020.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”baca juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ number_post=”7″]
Padahal RUU PKS bisa memberikan perlindungan bagi korban dan melengkapi payung hukum yang ada saat ini seperti KUHP dan UU No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
“Ketika keluar dari prolegnas itu tamparan bagi penyintas karena dianggap suara dan kami tidak penting dan tidak didengar. Ini akan melengkapi UU lainnya. Jadi enggak ada lagi korban yang sakit hati karena enggak ada pasal untuk menangani itu (laporan),” ucap Hannah.
Hannah turut mengomentari pandangan sekelompok orang bahwa RUU PKS bertentangan dengan ajaran agama. Ia meyakini agama apapun yang ada di dunia ini pasti mengutamakan kemanusiaan.
“Jangan biarkan korban berjuang sendiri, kita harus bersama. Kita perlu laki-laki baik untuk mendukung ini, RUU PKS ini penting untuk semua masyarakat Indonesia bukan hanya perempuan. Jadi please kita berjuang bareng,” ujarnya.
Hal tersebut disampaikan dalam acara diskusi virtual The Body Shop Indonesia: Semua Peduli Semua Terlindungi Sahkan RUU PKS pada Kamis 5 November 2020.
Sementara itu, rencana pembuatan UU Penghapusan Seksual sudah berlangsung sejak 2012 ketika Komnas Perempuan meneliti banyak jenis kekerasan seksual. Penelitian dilakukan sebab angka kekerasan seksual dalam periode 2001-2011 amat tinggi, hingga setidaknya 35 perempuan jadi korban saat itu.
Kondisi tersebut membuat Komnas Perempuan menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual dan mengusulkan pembentukan payung hukum untuk menangani kekerasan seksual pada 2013.
Proses tak berjalan baik kala itu. Pembahasan prolegnas baru dimulai pada awal 2015 dan naskah akademis dari Komnas Perempuan baru diserahkan ke DPR sebagai bahan pertimbangan pada 2016. Presiden Jokowi baru memerintahkan kementerian dan lembaga berkoordinasi terkait RUU PKS pada 2017.
Hingga pada September 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo atau akrab dipanggil Bamsoet memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak akan disahkan DPR pada periode ini karena keterbatasan waktu kerja.
Kondisi diperburuk ketika Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengungkapkan usulan Komisi VIII, komisi yang dipercayakan menyiapkan RUU PKS, untuk mencabut RUU tersebut dicabut dari Prolegnas prioritas 2020.
Supratman mengatakan penarikan itu dilakukan lantaran menunggu pengesahan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).