Menjawab Tantangan Energi Masa Depan

Ilustrasi (Detail/ist)

DETAIL.ID, Jakarta – Indonesia diperkirakan akan menghadapi krisis energi pada 2050. Untuk itu, sedang dilakukan langkah persiapan dengan mencari energi alternatif untuk mengatasi cadangan energi fosil yang semakin menipis. Namun, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) sebagai energi alternatif belum optimal.

“Padahal sumber energi baru terbarukan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.  EBT berada pada kisaran lebih dari 400 gigawatt, tapi baru termanfaatkan 10 gigawatt atau 2,5 persen,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, dalam acara Tempo Energy Day 2020 yang berlangsung virtual selama dua hari, 21-22 Oktober 2020.

Melansir tempo.co 27 Oktober 2020, dari total kapasitas sumber energi saat ini sebesar 70 gigawatt, EBT hanya 10,9 persen. Sisanya sebanyak 19,5 persen mengandalkan gas bumi, 35 persen batu bara dan minyak bumi sebesar 34,8 persen. Porsi ini diharapkan berubah menjadi 23 persen pada 2025, lalu meningkat hingga 31 persen pada 2050.

Demi mencapai target tersebut, pemerintah mengambil empat langkah kebijakan. “Pertama, kita memaksimalkan energi baru terbarukan, lalu meminimalisasi penggunaan minyak bumi, mengoptimumkan gas bumi, dan menjadikan batu bara sebagai swinger,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana.

Empat langkah kebijakan tersebut dijalankan perusahaan-perusahaan di klaster energi dan minerba (mineral dan batu bara) di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Menteri BUMN Erick Thohir telah menugaskan PLN, Pertamina, PT Bukit Asam, dan MIND ID berinvestasi. Sejumlah hasil menggembirakan telah dicapai.

“Transformasi energi telah terjadi. Implementasi program biodiesel B30 sudah berjalan. Percepatan program klasifikasi batu bara untuk dijadikan metanol dan dimetil eter sehingga bisa mengurangi impor LPG yang sekarang sudah mencapai  sekitar 6 juta metrik,” kata Erick.

Selain itu, kata Erick, percepatan pembangunan listrik tenaga surya antara PLN dengan Masdar dari UAE (Uni Emirat Arab) dengan kapasitas 145 megawatt. “Proyek terbesar di Asia Tenggara,” ujar Erick.

Senior Vice President Strategy & Investment Pertamina Daniel S. Purba, mengatakan perseroan sedang menyiapkan empat pilar utama untuk memenuhi amanat Menteri Erick Thohir. Pilar pertama yakni pengembangan panas bumi (geothermal). “Kedua, bioenergi seperti pengembangan bioavtur dan biogasoline. Ketiga, optimalisasi produksi gas, dan terakhir, pengembangan baterai kendaraan listrik bekerja sama dengan PT Inalum dan PLN,” ujar Daniel.

Sedangkan PT Bukit Asam Tbk menyiapkan bisnis tenaga surya di bekas tambang mereka. “Kita sudah punya persiapan untuk mengembangkan pembangkit listrik dari surya. Ini akan dilakukan di lahan pasca-tambang di Tanjung Enim dan Ombilin,” ujar Direktur Utama Bukit Asam, Arviyan Arifin.

Bukit Asam bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero) untuk membangun panel surya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Adapun dengan PT Jasa Marga (Persero) bekerja sama memanfaatkan areal tanah di tepi jalan tol sebagai lokasi bangunan panel surya. Arviyan menambahkan, perseroan juga akan memanfaatkan Danau Toba untuk dibangun tenaga surya.

Sementara itu, PLN digandeng Kementerian ESDM menjalankan dua proyek. Pertama, pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap agar pelanggan bisa menghemat tagihan listrik hingga 30 persen, dan kedua adalah melistriki 433 desa yang akan dilaksanakan pada 2021. “Menjalankan amanat pemerintah untuk menerangi sampai pelosok negeri merupakan tugas yang harus kami penuhi,” kata Executive Vice Presiden EBT PLN (Persero), Cita Dewi.

Walau demikian, upaya perusahaan BUMN merintis EBT demi pencapaian target 23 persen akan sulit jika iklim investasi tidak mendukung. Sebab itu, pengamat energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi, mendorong pemerintah memberikan insentif yang dapat menarik minat investor. “Pemerintah mestinya bisa menyiapkan insentif agar kerja investor lebih ringan,” kata dia.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menyoroti tarif EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan tarif energi fosil. Hal ini mengakibatkan perusahaan penyedia energi cenderung memilih bahan bakar migas. “Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan tentang kepastian harga atau tarif yang sesuai, misalnya tenaga angin berapa tarifnya, surya berapa, panas bumi berapa,” ujar Darma.

Usulan-usulan tersebut terjawab dengan peraturan presiden yang bakal dikeluarkan dalam waktu dekat. Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM Harris, menyebutkan isi rancangan perpres tersebut. “Di dalamnya ada ketentuan tarif yang lebih simpel, pengadaan yang bisa ditunjuk langsung, juga tentang insentif tambahan. Dulu sudah ada insentif tetapi tidak spesifik. Nah, di dalam Perpres nanti lebih jelas,” kata dia.

Rencana penerbitan perpres mendapat apresiasi dari Surya Darma. Ia berharap Perpres mampu menjawab semua persoalan yang bertahun-tahun menyulitkan pengembangan EBT. Pasalnya, banyak regulasi sebelumnya yang mudah berganti. “Kami berharap perpres tidak mudah berubah sebagaimana peraturan menteri yang terdahulu,” ujarnya.

 

sumber: tempo.co

Exit mobile version