DETAIL.ID, Jakarta – Kontroversi UU Cipta kerja yang berujung unjuk rasa besar hampir merata di seluruh daerah masih meninggalkan residu. Beragam catatan negatif perihal penanganan unjuk rasa menjadi sorotan tajam.
Upaya doktrinasi pemerintah melalui media perihal sisi positif UU Cipta kerja dengan menutupi sisi negatifnya tidak menyurutkan upaya penolakan pengunjuk rasa.
Unjuk rasa yang melibatkan sejumlah elemen masyarakat menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja berujung kekerasan dan penangkapan dari aparat kepolisian.
Melansir CNNIndonesia, 26 Oktober 2020 ribuan pendemo disebut ditangkap, kemudian disiksa, dan dilepas kembali oleh polisi. Para pengunjuk rasa tolak Ciptaker tersebut diketahui berasal dari berbagai kalangan mulai pelajar, mahasiswa, hingga buruh.
“Hingga kini yang kami dapat di Jakarta ada ribuan ditangkap dan mengalami penyiksaan lalu setelah itu dibebaskan,” kata perwakilan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti dalam diskusi virtual, Minggu 25 Oktober 2020.
Menurut Fatin dari ribuan orang yang ditangkap di Jakarta, 200 pendemo di antaranya dijadikan tersangka. Kini para pendemo di Jakarta sudah disebar diseluruh direktorat kepolisian.
Ia mengaku belum memperoleh data pasti mengenai jumlah total pendemo yang ditangkap kemudian disiksa aparat untuk seluruh Indonesia. Diketahui demo penolakan UU ini terjadi di berbagai wilayah Tanah Air.
“Kami masih kumpulkan,” kata Fatia.
Perwakilan Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jawa Timur Andy Irfan juga mengakui adanya dugaan tindakan represif aparat kepada peserta unjuk rasa. Sementara itu Polda Jawa Timur sebelumnya menyebutkan telah menangkap 182 orang terkait demo walau berjalan kondusif. Demo berlangsung pada Selasa 20 Oktober lalu.
“Ratusan mahasiswa dan pelajar di Jawa Timur dilaporkan mendapat pemukulan dan perlakukan kasar dari aparat hukum,” ucap Andy.
Andy menambahkan aparat juga membatasi akses pendamping bantuan hukum kepada mereka yang ditahan.
“Jadi untuk akses bantuan hukumnya itu dipersulit,” kata Andy.
Fatia membenarkan hal tersebut. Menurut Fatia tidak ada transparansi dari aparat terhadap para pendemo yang mereka amankan.
“Jadi hari ini pendampingan hukum tidak bisa diakses. Dan tidak ada transparansi bagaimana tujuan tentang orang yang ditangkap. Jadi ditangkap acak dengan sweeping dan tentunya tanpa surat penangkapan,” kata Fatia.
Pada demo terakhir di Jakarta, 20 Oktober lalu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana membantah frasa penangkapan terhadap massa aksi. Ia memilih menggunakan frasa ‘diamankan’.
“Ini kami amankan, bukan kami tangkap,” kata Nana kepada wartawan di sekitar lokasi demonstrasi di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Selasa 20 Oktober 2020.