COVID-19 ini membuat kita semua terpaksa untuk melakukan segala hal dari rumah, menerapkan sesuatu yang tidak biasa, memakai sesuatu yang membuat gerah. Dirasakan, situasi ini tidak nyaman. Tapi tidak ada pilihan lain, kita harus mengikuti protokol ini demi kesehatan. Pilihannya tinggal satu, menyamankan sesuatu yang tidak nyaman.
Dalam dunia pendidikan, guru ‘terpaksa’ melaksanakan sesuatu yang tidak biasa, pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh. Memang tidak nyaman, tidak ‘enak’, mengajar tanpa ‘memandang’ wajah siswa, menilai tanpa melihat proses. Tapi apa daya.
Tapi itulah cara guru menjalankan tugas dan fungsi (tusi) sebagai tenaga profesional. Guru harus ‘menyamankan’ diri dan siswanya. Guru harus punya strategi ‘nyaman’ dalam kondisi ini agar pembelajaran bisa berlangsung dengan nyaman baik dirasakan oleh guru maupun para siswa.
Dalam pembelajaran daring tentu ada komunikasi daring yaitu komunikasi dalam jaringan untuk menyampaikan sebuah pesan atau informasi antara dua pihak yang berjauhan dengan menggunakan bantuan atau alat penghubung yang disertai dengan koneksi internet. Ini bisa dilakukan, dimana saja dan kapan saja: 1) daring sinkron: Google+, Hangouts, FaceTime, Skype, video call, chat, SMS, Facebook dan lain sebagainya; 2) daring asinkron: email, forum, rekaman simulasi visual, serta membaca dan menulis dokumen daring melalui World Wide Web atau blog. (pakarkomunikasi.com)
Di masa pandemi, guru harus sadar bahwa salah satu tugas guru adalah membelajarkan siswa. Proses ini tentu saja tidak terjadi begitu saja. Karena dalam pembelajaran daring terhubung beberapa elemen yang saling mempengaruhi: guru, siswa, orang tua, materi ‘daring’, HP, internet, sinyal, kuota, aplikasi dan komunikasi. Ke-10 elemen ini ”selalu berkomunikasi” dalam proses ini. Semakin komunikatif interaksi ke-10 elemen ini, semakin bermakna pembelajaran daring.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Dalam konteks ini, guru merupakan ’tokoh kunci’ dalam menghidupkan proses pembelajaran. Siswa sebagai ’subjek belajar’ mesti digerakkan, dibelajarkan dalam suasana yang kondusif. Ini akan berlangsung efektif kalau guru bisa mengajak siswa berinteraksi dan berkomunikasi yang berkualitas dan bermakna.
Guru akan bisa berkomunikasi efektif selama pembelajaran daring apabila dia memiliki kompetensi pragmatik. Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menggunakan bahasa untuk berkomunikasi (Yule, 1996). Ilmu ini membekali para guru untuk ’piawai’ menyampaikan pesan (baca-materi pembelajaran) yang bermakna bagi siswa. Bermakna berarti tuturan guru bisa langsung dicerna siswa sebagai ’bahan baku’ siswa untuk berpikir, karena mengajak siswa berpikir merupakan inti dari proses pembelajaran.
Dalam satu kasus, sebuah materi pembelajaran yang ’sangat sulit’, akan mudah dipahami oleh siswa bila guru itu bisa membahasakannya dengan baik dan terukur, sebaliknya sebuah topik yang sangat mudah akan membingungkan siswa apabila guru membahasakannya dengan berbelit belit, tidak komunikatif.
Oleh karena itu, ditemukan ada 7 (tujuh) ayat yang diinginkan guru dalam pembelajaran daring: (1) ingin menjaga komunikasi dengan peserta didik tetap harmonis; (2) ingin membuat materi pembelajaran mudah dipahami; (3) ingin membuat peserta didik kritis; (4) ingin proses pembelajaran tidak monoton; (5) ingin siswa tidak tidur selama proses pembelajaran; (6) ingin komunikasi antar siswa berjalan komunikatif; dan (7) ingin memotivasi siswa tetap belajar di luar kelas.
Keinginan guru ini akan menjadi kenyataan apabila guru mengaplikasi beberapa komponen pragmatik dalam proses pembelajaran: (1) tindak tutur; (2) implikatur (Thomas, 1995).
Pertama, teori tindak-tutur, sebuah prinsip yang menyatakan bahwa bahasa guru (baca- materi pembelajaran) dapat dipahami dengan baik apabila dikaitkan dengan konteks terjadinya ungkapan tersebut. Ini artinya, dalam pembelajaran daring, siswa sebagai mitra tutur akan memahami apa yang dikomunikasi guru apabila siswa dan guru berada dalam situasi konteks yang sama: konteks pembelajaran, sama-sama satu persepsi tentang: (1) tujuan pembelajaran; (2) apa yang dilakukan; (3) bagaimana melakukan; (4) apa dan bagaimana menilai; (5) media apa yang digunakan.
Guru dalam proses pembelajaran harus menjadikan pendapat Searle (1976) yang mengklasifikasikan tindak tutur berdasarkan maksud penutur (guru) ketika pembelajaran daring yang menjadi acuan utama guru dalam proses pembelajaran: (a) representatif: memberitahu siswa mengenai sesuatu; (b) komisif: menyatakan bahwa guru akan melakukan sesuatu; (c) direktif: untuk membuat penutur (guru) melakukan sesuatu; (d) ekspresif: untuk mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan; (e) deklaratif: menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan.
Guru dalam berkomunikasi daring berusaha agar ide yang disampaikannya kepada siswa dapat dengan mudah dipaham untuk mencapai tujuan. Tujuan tersebut meliputi: (1) menyampaikan informasi, (2) meminta informasi, (3) memerintah, (4) menolak, (5) mengekspresikan perasaan, (6) mengangkat, (7) meminta perhatian, (8) menyampaikan permintaan, (9) meminta penegasan, (10) menunjukkan rasa solidaritas, dan (11) mengungkapkan terima kasih kepada mitra tuturnya.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Teori ini mengindikasikan bahwa apa pun bahasa yang disampaikan dalam proses pembelajaran harus fungsional, harus punya fungsi dan bertujuan, bukan asal bicara.
Kedua, implikatur, tidak semua tuturan dan bahasa guru ‘enak dan nyaman’ diungkapkan secara langsung seperti prinsip kerja sama. Dalam suatu kondisi tertentu, guru bisa ‘melanggar’ prinsip tersebut. Dengan cara menyampaikan ide secara tidak langsung (makna tersirat). Pelanggaran maksim prinsip kerja sama akan memunculkan implikatur, yaitu menyampaikan ide, pesan secara tidak langsung, mengatakan sesuatu tetapi maksudnya lain (Levinson, 1983), apa yang dikatakan tidak sama dengan maksud itu dan pemahaman makna ide ini sangat tergantung pada konteks percakapan itu (Thomas, 1995).
Misalnya, kalau guru ingin tugas segera dikirim, guru tidak akan mengatakan: “tolong tugas dikirim segera”, tetapi “lebih nyaman” mengatakan: “Waktu belajar kita tinggal 10 menit”, secara tidak langsung meminta siswa untuk segera mengirim tugas.
Dipercaya bahwa implikatur akan membuat hubungan guru dan siswa berlangsung harmonis karena kita ‘selalu berpikir’ dalam berkomunikasi dalam rangka saling menghargai. Diyakini, guru yang memiliki kemampuan berimplikatur yang baik berarti guru sudah mengenal ‘budaya’ siswa karena implikatur ‘hanya’ akan ‘nyambung’ bila guru dan siswa sudah berada pada konteks budaya yang sama.
Komunikasi daring menuntut guru untuk memilih kata-kata yang nyaman dalam memberi penjelasan pada siswa dan merangkai ujaran yang komunikatif serta santun agar pembelajaran berkesan dan bermakna.
“Komunikasi adalah sesuatu yang mudah, susahnya ialah apabila kita tidak menyebutnya dengan perkataan yang mudah.” (T.S. Matthews)
*) Penulis adalah pendidik di Madrasah