BATANGHARI merupakan salah satu kabupaten peserta pemilu serentak tahun 2020 ini, bersamaan dengan Provinsi Jambi. Euforia Pilkada Kabupaten Batanghari hari ini terasa berbeda dengan beberapa tahun belakang, selain karena semakin aktifnya partisipasi milenial yang semakin peduli dengan urusan politik di daerahnya, juga karena munculnya satu pasangan yang dianggap sebagai ‘kuda hitam’.
Pasangan tersebut bukan berasal dari keluarga ‘kekuasaan lama’, namun merupakan kalangan birokrasi, yakni Muhammad Fadhil Arief dan Bakhtiar. Keduanya saat ini tercatat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Batanghari. Dua pasangan lainnya adalah Yunninta Asmara – Mahdan, serta Muhammad Haviz – Camelia Puji Astusi.
Euforia ini begitu terasa di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari generasi tua hingga milenial sebagai pemilih pemula. Masyarakat melihat pemilihan bupati tahun ini sebagai kesempatan untuk perubahan, setelah bertahun-tahun kabupaten Batanghari berada dalam lingkaran politik dinasti yang kesannya ‘itu-itu saja’.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]
Politik dinasti memang tidak diharamkan oleh konstitusi negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal 7 huruf (r) Undang- undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal tersebut awalnya membatasi calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Wali Kota) yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Namun, bagaimana kemudian tujuan demokrasi dapat tercapai jika masih ada pergesekan kepentingan yang terjadi di dalam sebuah keluarga, seperti idiom politik berikut ‘urusan negara selesai di meja makan’.
Penyelenggaraan negara Indonesia menganut sistem check and balance, artinya negara menuntut adanya saling cek kekuasaan antara ketiga Lembaga negara yakni; eksekutif (Bupati dan jajarannya), Legislatif (anggota parlemen; DPRD), serta Yudikatif (kekuasaan kehakiman).
Mekanisme cek and balance dari Eksekutif ke Legislatif pada level pemerintah pusat misalnya adalah yang belum lama ini terjadi, ketika DPR mengesahkan RUU KPK yang dinilai melemahkan institusi tersebut, maka publik beramai-ramai berharap pada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) demi membatalkan UU yang telah disahkan oleh DPR. Begitu pula dengan legislatif, anggota DPR dapat menolak, merevisi dan meminta pertanggungjawaban Eksekutif atas jalannya pemerintahan.
Masih hangat dalam ingatan polemik lem Aibon yang menyedot anggaran sebesar 82,8 Milyar Rupiah pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Adalah seorang anggota DPRD, William Aditya Sarana yang mengangkat kasus tersebut. Fungsi cek and balance inilah yang kemudian ditakutkan tidak terjadi jika eksekutif dan legislatif (terlebih jika masing-masing adalah pemimpin) berada dalam satu pusaran kepentingan yang sama. Maka siapa yang kemudian akan memperjuangkan kepentingan rakyat, jika wakil rakyat terpilih cenderung rentan terhadap kepentingan penguasa.
Selain itu, dilema pasangan eksekutif legislatif juga sudah beberapa kali menjangkiti pemerintah daerah di Indonesia. Sebut saja pasangan Bupati Kutai Timur, Ismunandar dan istrinya Encek Unguria Riarinda Firgasih yang merupakan Ketua DPRD Kutai Timur. Keduanya ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta terkait kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Kutai Timur.
Mimpi buruk penyelenggaraan pemerintahan yang demikian seakan menghantui banyak pemerintah daerah, dengan lingkaran kekuatan politik yang seolah berputar pada oligarki elite atau penguasa yang sama selama bertahun-tahun. Hanya saja, polanya terkadang berpindah dari eksekutif ke legislatif atau sebaliknya, namun elite dan penguasanya masih dari lingkaran yang sama.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]
Maka kemudian ketika muncul nama baru, dengan pengalaman birokrasi yang mumpuni, euforia masyarakat sudah menjadi kewajaran. Euforia ini juga didukung dengan tumbuhnya semangat partisipasi politik dari kaum milenial, semakin terbukanya sistem informasi membuat keterlibatan milenial juga terasa sentral.
Harapannya, ke depan jangan sampai pesta demokrasi ini menjadi ajang pecah belah antar pendukung, euforia ini harus dirayakan dengan cara saling menghormati atas pilihan politik. Karena apa pun yang terjadi, kita semua tetap satu saudara, Bumi Serentak Bak Regam.
*Akademisi UIN STS Jambi