OPINI  

Melihat Masa Depan

Melihat Masa Depan

MELIHAT masa depan bukanlah pekerjaan yang mudah. Melihat masa depan (foresight) dalam dunia pendidikan adalah mendeteksi dini segala ancaman yang mungkin datang mengganggu lembaga pendidikan. Dengan berpikir ‘futurist’, kita dapat melihat kemungkinan yang bisa saja terjadi di masa depan, sekaligus mengantisipasi perubahan yang akan terjadi. Perubahan yang dapat menjadi ancaman, juga peluang. (Karamoy)

Tak selamanya perubahan bergerak perlahan, ada kalanya, dia datang tiba-tiba dan tanpa diduga. Kita dituntut harus berani berfantasi dalam menggambarkan masa depan.

Sebuah ‘benda kecil’ bernama ‘corona’ tapi berdampak cukup besar. Pada 2020, tak ada yang menduga terjadi pandemi COVID-19. Semua tatanan kehidupan manusia di seluruh dunia mengalami dampak yang dahsyat.

Aktivitas foresight perlu dilakukan lembaga pendidikan. Keon Chi (1991) menjelaskan, aktivitas foresight yang dilakukan lembaga pendidikan perlu dilakukan. Pertama, membantu stakeholder mengantisipasi masa depan. Kedua, dapat menggambarkan tujuan jangka panjang bagi lembaga pendidikan.

Ketiga, foresight dapat membantu pemimpin mengambil keputusan terencana dan dipikirkan dengan masak. Keempat, dapat meningkatkan komunikasi dan kolaborasi antara stakeholder. Kelima, pada era penuh tantangan untuk mempertahankan diri dari ancaman.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Foresight menghadapi pandemi harus segera dimiliki lembaga pendidikan. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemi ini berakhir, bisa lebih buruk karena belum ada vaksin untuk menghentikan penyebaran virus ini, atau akan berakhir dalam waktu dekat.

Ketidakpastian ini harus dijawab oleh lembaga pendidikan untuk membuat langkah strategis: Pertama, refocusing goal setting (memfokuskan kembali tujuan) yang hendak dicapai lembaga pendidikan.

Dalam konteks pandemi misalnya, dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan, seperti bagaimana menuju sekolah yang selalu siap dalam pembelajaran menghadapi pandemi? Apa langkah-langkahnya menuju kondisi tersebut?

Kedua, identifikasi isu. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi isu kebijakan dan masalah yang mungkin dihadapi sekolah dalam 1 atau 2 tahun ke depan.

Terkait pandemi, pertanyaan awal misalnya, pandemi seperti apa yang mungkin terjadi? Bagaimana kemungkinan penyebaran sampai ke sekolah? Kebijakan apa yang perlu dibuat untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di sekolah?

Ketiga, metode analisis tren. Yakni, dengan melihat keadaan sekarang dan perkiraan masa depan. Misalnya, tren pembelajaran, peran guru dan orang tua, platform pembelajaran apa yang digunakan selama pandemi. Karena itu, sekolah dapat mempersiapkan kebijakan untuk mengantisipasinya.

Terakhir, metode masa depan alternatif, yaitu melihat masa depan dengan berbagai skenario: 1) kembali sekolah seperti biasa; 2) kembali sekolah dengan menerapkan protokol kesehatan ketat; 3) sekolah 3 hari, daring 3 hari; 4) full daring..

Skenario-skenario ini dibuat dengan mengikuti kaidah keilmuan. Baik skenario terbaik, misalnya pandemi dapat dikendalikan atau terburuk, pandemi tak terkendali. Saatnya pemangku kepentingan dan pengambil keputusan menghadapi skenario ini.

Bagi dunia pendidikan, melihat masa depan juga harus mempertimbangkan temuan-temuan dari berbagai pihak  untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan kompetensi yang diperlukan dimasa yang akan datang. Stakehoder pendidikan tidak oleh menutup mata dengan data-data ini.

The Future of Education and Skills Education 2030 memaparkan beberapa kapabilitas yang perlu dikukuhkan ke personal anak-anak. Pertama, rasa ingin tahu, imajinasi, daya tahan, dan kemampuan mengatur diri secara mandiri. Kedua, kemampuan menghormati, menghargai gagasan, perspektif, dan nilai-nilai orang lain. Ketiga, kemampuan mengatasi kegagalan dan penolakan. Keempat, kemampuan bergerak maju untuk menghadapi beragam kesulitan.

Kemampuan-kemampuan ini harus ditanamkan dalam setiap kegiatan pembelajaran siswa dalam berbagai situasi dan kondisi baik dikondisi normal atau tidak normal seperti di masa pandemi COVID-19. Kompetensi bisa menjadi basis guru dalam melaksanakan proses pembelajaran.

Jangan-jangan siswa dipacu untuk belajar yang begitu berbeda dengan realitas kesehariannya. Jangan-jangan siswa diharuskan belajar atau mempraktikkan sesuatu yang tidak ‘terpakai’ di masa yang akan datang. Siswa menguasai ‘ilmu’ yang sudah digantikan dengan perangkat teknologi yang lain.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Oleh karena itu, guru dalam melihat masa depan bukan hanya membahas hal-hal teknis atau rutinitas, atau bahkan ‘melihat mundur ke belakang’, misalnya dalam membuat RPP, hanya ‘menukar’ tahun, atau mengadopsi perangkat pembelajaran yang dibuat pihak lain yang berbeda kondisi dengan sekolah guru itu. Hal-hal tersebut bukannya tidak boleh, tetapi itu berpotensi mengaburkan pandangan guru terhadap tujuan pendidikan.

Sekali-sekali tidak apa-apa guru ‘berfantasi’ ke masa depan dengan mempertimbangkan data tentang prototipe masa depan: 1) 65% anak-anak kita yang kini memulai sekolah nantinya bakal mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang saat ini belum ada;  2) 75 juta (42%) pekerjaan manusia akan digantikan oleh robot dan artificial intelligence pada tahun 2022 (World Economic Forum, 2018); 3) 60% universitas di seluruh dunia akan menggunakan teknologi virtual reality (VR) pada tahun 2021 untuk menghasilkan lingkungan pembelajaran yang imersif (Gartner, 2018).

Sedangkan untuk soft skill, Tony Wagner (2008) merumuskan “Seven Survival Skills for 21st Century” yaitu: critical thinking and probelm solving; collaboration across network; agility and adaptability; Initiative and entrepreneurship; Accessing and analysing information; effective communication; curiosity and imagination.

Data-data ini layak dipertimbangkan guru dalam merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran untuk segala kondisi sehingga siswa disiapkan untuk menghadapi masa depan dan tidak gagap menghadapi perubahan yang terjadi baik perubahan yang direncanakan maupun yang datang tiba-tiba.

Melihat masa depan adalah mengintegrasikan teknologi informasi. Materi pembelajaran dapat diakses di mana saja dan kapan saja. Teknologi membuat pembelajaran siswa menyenangkan. Pembelajaran model ini dapat dilakukan siswa di mana saja, kapan saja.

Teknologi bukan ‘ancaman’ bagi guru. Guru tetap tak tergantikan, yaitu guru yang mampu memanfaatkan teknologi ini untuk memperkaya proses pembelajaran, guru yang bisa membuat siswa belajar tanpa disadari oleh siswa bahwa dia sedang belajar dengan menggunakan teknologi informasi.

Karena itu sekolah-sekolah kita harus meredefinisi KTSPnya dengan mengakomodasi skill-set baru tersebut. Sekolah jangan takut melakukan perubahan secara ‘dramatis’.

 

*)Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *