OPINI  

Konflik Internal dan Politikus Kutu Loncat

Politikus Kutu Loncat

KONFLIK politik yang mengiringi arena Pilkada di tingkat lokal menunjukkan adanya gelagat pembelotan sejumlah kader partai politik dari gerbong asalnya. Masalah yang cukup rumit yang terjadi pada partai politik di Indonesia adalah tidak adanya konsep kaderisasi yang jelas di partai politik.

Hal ini bukanlah hal yang mudah untuk diungkap secara kasat mata. Mengungkap minimnya kaderisasi partai politik, sama saja mengkritisi kaum mapan (elite senior) partai yang tidak ingin membagi kekuasaan.

Kaum elite di partai politik sepertinya sengaja mendesain ketidakhadiran kader baru di partai, karena kehadiran kader baru akan mengancam posisi mereka yang sudah mapan. Persaingan sengit yang (akan) terjadi pada saat terjadi pertarungan pemilihan posisi elit partai politik cenderung dihindari, apalagi pada partai politik besar.

Wajah partai politik yang semacam ini merupakan jerawat dalam wajah demokrasi. Lihat saja, selama kurun waktu lima tahun terakhir, kita hampir tidak mendapati adanya wajah baru pada partai politik yang eksis di Senayan.

Ketiadaan kaderisasi pun berakhir pada konflik internal partai politik. Di tingkat lokal, pembelotan terhadap dukungan Calon Kepala Daerah harus dibaca sebagai kritik nihilnya partai politik atas proses kaderisasi. Jika kaderisasi berjalan dengan baik, maka tidak akan mungkin terjadi pembelotan dan tidak akan tercipta politikus kutu loncat.

Partai politik yang memiliki kaderisasi mapan memiliki mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan konflik internal. Sedangkan pada partai politik yang belum mapan, konflik internal sengaja diumbar ke publik untuk memberi legitimasi dukungan pada para pihak yang sedang bersiteru.

Menurut H. Anto Djawamaku (Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya, dalam Jurnal Analisis CSIS: Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta, Vol.34, No.2, 2005), ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh parpol, yaitu: 1. Karena partai politik tidak memiliki platform yang jelas, sehingga mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai.

Ketika terjadi perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai. 2. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu kuatnya figur pemimpin parpol berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh partai politik bersangkutan.

Figur yang kuat dianggap mampu menjadi perekat sementara pada saat bersamaan kader yang memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagai calon pengganti. 3. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan munculnya tokoh baru dalam parpol menunjukan kegagalan parpol melakukan reformasi internal, terutama untuk revitalisasi dan regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Ketiadaan kaderisasi ini merupakan embrio organisasi politik yang rentan dengan konflik. Hal ini karena, pertama, anggota partai politik tidak memiliki kepastian atas karir mereka di partai politik (jenjang karir tidak jelas).

Sehingga banyak sekali manuver-manuver yang dilakukan di internal partai, meskipun kadang manuver tersebut justru merugikan partai politik secara umum. Kedua, para anggota partai politik senior akan sangat cemburu dengan anggota partai politik yunior yang diusung secara instan dalam ranah Pilkada langsung.

Fenomena ini lazim terjadi, sebab dalam kalkulasi Pilkada, yang terpenting bukanlah menaikkan kader menduduki jabatan kepala daerah, tetapi yang terpenting adalah menjadi pemenang dalam Pilkada langsung.

Menaikkan seseorang non kader yang potensial (populer dan memiliki modal potensial) menjadi kepala daerah diyakini akan mendongkrak perolehan suara pilihan legislatif pada periode berikutnya. Hal ini lebih dipilih pengurus partai politik lokal daripada menggusung kader dari internal yang kurang populer dan apalagi nir modal. Hal-hal seperti ini mau tidak mau membawa pada situasi rentan konflik pada pengurus partai politik lokal.

Konflik internal di partai politik  kemudian memaksa kita berdiskusi mengenai politikus kutu loncat. Politikus kutu loncat amat lazim pada negara dengan sistem multi partai. Politikus kutu loncat tidak hanya mudah berpindah-pindah parpol, namun ia juga lihai bergonta-ganti ideologi dan identitas.

Mereka juga piawai meracik citra serta jago menyusun argumen untuk membenarkan tiap manuver politik yang dilakukan. Pilihan partai politik yang amat beragam menjadi bumbu penyedap loncatan-loncatan para kutu. Secara tegas, memang tidak ada yang mengklaim bahwa kutu loncat politik merupakan tindakan yang tercela.

Hanya saja, etika berpolitik patut dikedepankan. Tidak seperti sekarang, jika yang menjadi kutu loncat adalah seekor kutu yang memiliki kantong tebal, banyak sekali partai politik yang membuka pintu plus karpet merah. Pemberian perilaku yang istimewa secara berlebihan kepada politikus kutu loncat akan berdampak kepada masalah baru bagi partai politik penerima kutu loncat.

Para kader partai politik senior sudah mulai memasang kuda-kuda untuk bersaing dengan anggota yunior yang berkantong tebal. Politik kita hari ini telah terjerumus kedalam logika Laswellian, yakni who gets what, when dan how. Nalar Laswellian menempatkan politik sebagai aktivitas pertukaran yang saling menguntungkan.

Dalam logika yang demikian itu, perilaku dan manuver politikus lebih sering dituntun oleh kehendak untuk berkuasa (will to power), bukan kehendak untuk mengubah (will to change). Lebih ekstrim politik transaksional itu seolah membenarkan tesis Machiavellian, “the end justifies the means”, demi meraih tujuan segala cara digunakan.

Politik hanya menjadi alat tukar kepentingan dan rebutan kursi kekuasaan semata minus idealisme dan kenegarawanan. Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah ini bukti telah terjadi pertunangan antara partai politik dengan pemodal?

 

*Akademisi UIN STS Jambi

 

Exit mobile version