OPINI  

Pembelajaran Pandemi

Pembelajaran Pandemi

KITA TELAH sampai di zaman dimana bicara tanpa perlu suara. Melihat tanpa perlu tatap muka dan memanggil tanpa perlu teriak. Hingga, bicara hanya perlu ketik saja. Melihat hanya perlu klik saja. Dan memanggil hanya perlu ping saja. (steemit.com?)

Fenomena inilah yang menggambarkan proses pembelajaran pandemi. Ternyata, HP tidak hanya melenyapkan waktu kita, melenyapkan televisi, melenyapkan koran, tapi HP bisa melenyapkan pendidikan kita, HP bisa melenyapkan kesehatan, HP bisa melenyapkan perkawinan, HP bisa melenyapkan kasih sayang keluarga bahkan HP bisa melenyapkan keimanan.

Kekhawatiran ini ‘dimentahkan’ dengan pembelajaran selama pandemi COVID-19. Suka tidak suka, mau tidak mau, pembelajaran selama pandemi harus dilakukan dengan menggunakan HP. Inilah salah satu cara yang paling ampuh untuk belajar sambil memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Dalam kondisi apa pun, pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan dan mendaya gunakan potensi siswa secara maksimal. Usaha sadar ini biasanya hasil dari pembelajaran bermutu yang dibimbing oleh guru inspirasi, diinisiasi oleh sekolah bermutu dan tentu saja diawasi oleh pengawas yang bermutu pula.

Apakah dalam kondisi normal maupun kondisi selama pandemi, mutu pembelajaran tetap berfokus pada kepuasan siswa, yang bercirikan: 1) Kemampuan siswa melebihi apa yang direncanakan; 2) Kesesuaian antara keinginan dan kenyataan; 3) Siswa siap berkompetisi dimana saja kapan saja; 4) Guru dan siswa selalu belajar; 5) Selalu bekerja maksimal, hampir tidak pernah berbuat salah; 6) Siswa senang, guru bahagia, pimpinan bangga; 7) Tidak pernah mengecewakan siapa pun (Koswara, 2010:304)

Selama pandemi, pembelajaran harus tetap menyajikan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi peserta didik. Tidak tampak rasa kebosanan di wajah siswa. Mereka selalu antusias mengikuti pembelajaran pada jam kapan pun jadwal belajar. Tidak ada halangan bagi guru untuk menjadi pribadi yang harus banyak bergaul dan berinteraksi dengan para siswa secara santun.

Pembelajaran pandemi tidak mengurangi sikap profesional guru, melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok dan bukan sebagai pengisi waktu luang atau sebagai hobi belaka. Seorang profesional mempunyai pengetahuan yang dimiliki dalam melayani pekerjaan di bidangnya. Bertanggung jawab atas keputusannya baik intelektual maupun sikap dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Pembelajaran pandemi adalah kesempatan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dasar untuk belajar, menguasai TIK sehingga dapat mengikuti bahkan menjadi inisiator dalam pembaharuan dan perubahan dengan cara memberdayakan sumber-sumber pembelajaran secara optimal dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Karena pembelajaran pandemi menggunakan perangkat teknologi pembelajaran.

Pembelajaran pandemi juga harus berbasis akar budaya serta nilai-nilai etika moral (akhlak) yang baik dan kuat. Pembelajaran yang dihiasi dengan nilai-nilai profetik: jujur, cerdas, komunikatif dan amanah. Ini merupakan basis membangun kepercayaan antar stakeholder. Bukan berarti belajar jarak jauh, karakter positif juga dijauhi

Pembelajaran pandemi bisa bernuansa pembelajaran kekinian. Prosesnya berisi 4 C: communication (dengan berbagai sumber belajar), collaboration (bekerja sama dengan semua stakeholder pendidikan, bukan berkompetisi), critical thinking (berpikir kritis, tidak menerima apa saja yang diberikan, dilihat tapi semuanya dipikirkan, dipertimbangkan baik buruknya), creativity (selalu mencari yang terbaik, tercepat, termudah dalam mengerjakan suatu pekerjaan). Tergantung guru mendesain pembelajaran.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Pembelajaran pandemi juga bisa belajar dari kehidupan nyata (membumi): 90% dari apa yang kita katakan dan kerjakan sebagai dampak dari metode pembelajaran tentang kehidupan dan pengalaman nyata, 70% dari apa yang kita katakan, 30% dari apa yang kita lihat, 20% dari apa yang kita dengar, dan 10% dari apa yang kita baca” (Vernon A. Magnesen dan Edgar Dale). Ini sangat tergantung dari variasi tugas guru.

Pembelajaran pandemi tidak bersemangat memperhatikan seberapa lama guru berinteraksi daring dengan siswa, tapi lebih peduli kualitas interaksi dengan ‘menghidupkan’ semangat belajar siswa. Komunikasi daring boleh lama, boleh juga sebentar, kuncinya adalah komunikasi itu membuat siswa belajar mandiri.

Pembelajaran pandemi tidak boleh membiarkan siswa belajar sendiri. Guru harus berkolaborasi dengan orang tua untuk memantau ‘proses pembelajaran’ siswa di rumah. Harus ada ‘kontrak’ kerja sama guru dan orang tua, harus ada pembagian kerja guru dan orang tua. Walaupun tidak ada pembelajaran ‘face-to-face, guru bisa memakai ‘face’ orang tua.

Kalau kolaborasi guru dan orang berjalan sesuai dengan ‘kontak’ yang disepakati, Insya Allah, pembelajaran siswa akan berjalan dengan penuh semangat, tanpa hambatan, menyenangkan dan akhirnya, menimbulkan ‘candu’ untuk terus belajar. Tentu saja, proses ini tidak bisa dilakukan ‘sembarangan’. Guru harus ‘berkeringat’ untuk menciptakan situasi ini. Guru harus memiliki banyak referensi, harus banyak belajar, membaca dan menulis sehingga tujuan ini bisa tercapai.

Pembelajaran pandemi tidak harus dipaksakan berlangsung 8 jam sehari, dari 07.00-15.00. Pokoknya, guru mengirim tugas sebanyaknya, siswa mengerjakan tugas, kalau tidak nilai siswa ‘rendah’. Rasanya, bukan seperti itu. Mestinya ada stimulus dari guru, bisa berbentuk bacaan, video, gambar, ilustrasi yang menarik, mudah dipahami, konstektual, ‘dekat’ dengan kehidupan siswa.

Kalau stimulus sudah dipahami siswa, baru guru ‘menebar’ tugas yang ‘merangsang’ siswa untuk berpikir, menganalisis, menyintesis, menilai, membuat, berkreasi, dll. Tugas-tugas ‘berat’ ini akan dengan senang hati dikerjakan siswa bila komunikasi guru dengan siswa dilakukan dengan santun, penuh puja puji, tanpa tekanan yang membuat siswa stres.

Pembelajaran pandemi mengedepankan ‘apa yang kerjakan’ siswa bukan ‘apa yang dihasilkan’ siswa. Apa pun yang dikerjakan siswa ‘seburuk apa pun’ wajib diberi apresiasi. Namanya juga belajar, pasti ada kekurangan. Jangan khawatir, kalau siswa sudah belajar, suatu hari nanti, pekerjaan mereka akan sempurna.

Pembelajaran pandemi bukan halangan untuk memberi yang terbaik bagi siswa.

 

*)Pendidik di Madrasah

Exit mobile version