OPINI  

Glocalization: Hotel, Mal dan Musala

Cocokologi
Bahren Nurdin

MUNGKIN Anda telah akrab dengan istilah globalisasi atau globalisation, yaitu terminologi yang digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang mendunia atau dunia tanpa batas (borderless). Namun saya yakin belum banyak di antara kita yang memahami istilah glokalisasi atau dalam bahasa Inggris disebut ‘glocalization’.

Kita ambil definisi yang mudah saja: ‘glocalization is the adaptation of global and international products into the local contexts they’re used and sold in’ (investopedia.com). Intinya begini, ada produk atau layanan internasional yang harus menyesuaikan kondisi di mana produk atau layanan berada. Contoh, KFC dijual di seluruh dunia. KFC di Indonesia menggunakan nasi putih, sementara di negara lain mungkin tidak nasi tapi sesuai makanan pokok mereka. Atau hotel-hotel berbintang di Jambi wajib menyediakan gulai tempoyak. Pegawainya harus memakai lacak atau tengkuluk. Itulah yang disebut glokalisasi.

Pada artikel singkat ini, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat penerapan konsep ini di Indonesia khususnya di Kota Jambi dalam konteks penyediaan fasilitas musala. Bagaimana sebenarnya para pengambil kebijakan harus menerapkan konsep ini dengan sepenuhnya. Salah satu turunan penerapannya adalah berupa regulasi seperti Perda atau Perwali.

Sudah kita ketahui bersama saat ini di Kota Jambi telah tumbuh mal dan hotel berbintang banyak yang bertaraf internasional. Hotel-hotel ini juga bisa ditemui di berbagai negara di dunia. Persoalannya, apakah hotel-hotel internasional ini sudah menganut konsep ‘glocalization’? Mari kita cermati.

Di Kota Jambi saat ini tercatat sebanyak 87.17 % masyarakatnya beragama Islam. Itu artinya, sebagian besar pengunjung hotel-hotel atau mal tersebut adalah orang-orang yang akan melaksanakan salat lima waktu. Pertanyaan sederhananya, sudahkah mereka menyediakan tempat salat yang layak untuk para pengunjung dan pekerja mereka?

Jawabannya, belum. Lihat saja, beberapa hotel yang saya kunjungi di Kota Jambi belum memberikan fasilitas tempat salat yang baik. Begitu juga mal. Jika pun ada dipastikan tempatnya tidak layak dan tidak terurus. Saya tidak mau membuat daftarnya. Silakan masyarakat Jambi cek saja sendiri. Toilet (maaf) mereka jauh lebih bersih dari musala. Toilet mereka dibersihkan dengan sangat baik tapi musala kotor dan berbau.

Bahkan, beberapa waktu lalu saya berkunjung ke salah satu mal di Kota Jambi, mereka menempatkan musala di arena parkir motor dengan fasilitas seadanya. Susah dijangkau dan terisolir. Asap knalpot dan berdebu. Kotor dan apek. Ada juga yang di lantai atas tapi sempit dan tidak terurus. Saya ingin menyampaikan pesan bahwa di Kota Jambi konsep glokalisasi belum diterapkan oleh para pengusaha perhotelan atau mal.

Hal ini tentunya tidak luput dari peran para pengambil kebijakan atau kepala daerah. Seharusnyalah ada aturan yang tegas untuk para pengusaha mal atau hotel di kota ini untuk menyediakan tempat salat yang layak bagi para tamu dan pekerja. Aturan yang ditegakkan dan dilaksanakan. Artinya, harus ada pemantauan terhadap layanan yang mereka berikan.

Sudah saatnya untuk memberikan sanksi kepada mereka yang tidak menjalankan aturan ini dengan sepenuh hati. Jika perlu, cabut izin usaha hotel atau mal yang tidak memiliki tempat salat yang layak. Berani?

Akhirnya, konsep glocalization harus mulai menjadi perhatian kita semua. Hotel berbintang dan bertaraf internasional boleh hadir. Mal-mal boleh bermunculan. Tapi, kearifan lokal khususnya penyediaan tempat salat ‘wajib’ hukumnya. Ini perlu ketegasan dan iktikad baik para pemangku kebijakan di negeri ini. Semoga.

 

*Akademisi UIN STS Jambi

Exit mobile version