OPINI  

Belajar Sampai ke Negeri China: Sebuah Analisis Deiksis

Negeri Cina

Oleh: Amri Ikhsan*

 

UMAT ISLAM harus sadar, Nabi Muhammad telah ‘menginstruksikan’ melalui haditsnya kepada umat-Nya bahwa “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China”. Ini bisa diinterpretasikan bahwa belajar boleh di mana-mana, asal mau belajar. Ekspresi ‘sampai ke negeri China’ menunjukkan bahwa Nabi adalah seorang futurist, visioner dan tidak mengekang umat-Nya untuk belajar hanya ‘di sekitar rumahnya’. Tentu saja, kalau Nabi mengatakan “negeri China’, tentu saja dia mendapat petunjuk dari Ilahi bahwa di masa yang akan datang pendidikan negeri China merupakan salah satu tempat belajar yang menjanjikan dan berkualitas.

Terbukti sudah sabda Nabi tersebut, belajar sampai ke negeri China bukan sekadar ungkapan penunjukkan tempat belaka, tetapi penuh makna dan inspiratif. Sekarang, ekonomi China diprediksi akan menjadi yang terbesar di dunia pada tahun 2028 dan mengalahkan Amerika Serikat (AS) (CNBC Indonesia). Diyakini AS dan Uni Eropa bisa maju didukung oleh SDA yang kaya dan ditopang oleh jumlah penduduk yang ‘tidak banyak’. Tapi bayangkan dengan penduduk paling banyak di dunia (Global Journal Insight), China bisa tangguh dalam mengelola pendidikan dengan optimal sehingga bisa menghasilkan SDM yang bisa membangun negaranya.

Nabi telah “menunjuk” sebuah tempat: “negeri China”. Berbicara tentang tempat berarti berbicara tentang dieksis. Dieksis merupakan sebuah istilah pragmatik (ilmu tentang penggunaan bahasa untuk komunikasi). Istilah ini merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam penggunaan bahasa untuk komunikasi yang berarti “menunjuk” melalui bahasa. Ungkapan dieksis digunakan untuk mengungkapkan waktu, tempat, orang, dsb dalam sebuah komunikasi (Yule, 1998). Bila seseorang mengungkapkan “sebuah objek” dengan menggunakan ekspresi dieksis berarti menyatakan sesuatu itu berada dalam konteks pembicaraan yang sangat penting dan bermakna bagi pembicara dan lawan bicaranya.

Ungkapan ‘Negeri China” dalam ungkapan di atas menunjukkan di satu sisi sebagai ungkapan penekanan bahwa seberapa penting sebuah pembelajaran, belajar itu tidak mengenal tempat, di mana saja asal ilmu yang didapatkan dalam proses pembelajaran bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Di lain pihak, ada “implikatur” dalam ungkapan tersebut yaitu belajar ‘di luar’ dengan latar belakang agama dan tradisi yang berbeda bukan untuk mengikuti agama dan tradisi di daerah tersebut, seperti seekor ikan yang hidup di laut, walaupun airnya asin, tetapi ikan tidak pernah asin. Begitu juga seorang pembelajar yang belajar di negeri non-muslim.

China menyadari ketertinggalan akan kekurangan tenaga profesional, kemudian berusaha meningkatkan sains, teknologi, dan pendidikan tinggi dengan begitu mengesankan. Kemajuan tersebut berawal dari mempelajari kemudian berkembang menjadi menemukan dan mengekspor pengetahuan. Kebijakan sektor edukasi, di mana China menerapkan wajib belajar, melarang adanya pekerja di usia sekolah dan mengembangkan vocational education untuk memberikan keterampilan kepada masyarakat, sehingga akan tersedia pekerja dengan skill yang tinggi. (Global Journal Insight)

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Jelas sekali, paradigma pembangunan nasional China berbasis pada pengembangan sumber daya manusia merupakan landasan yang kokoh bagi kemajuan nasional dalam berbagai bidang untuk memasuki persaingan global. Ini dinyatakan dengan wujud kemauan, kepedulian, dan kebijakan politik dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan mengimbau kepada pihak swasta untuk berinvestasi dalam bidang pendidikan tanpa menekankan cari untung secara material.

Bagi China, guru sebagai salah satu komponen pendidikan menempati posisi sentral dalam aktualisasinya melalui satu manajemen guru yang efektif. Hal-hal yang berkaitan dengan rekrutmen, seleksi, pendidikan, sistim remunerasi, penghargaan dan perlindungan, pengembangan profesi, jaminan sosial, pembinaan, promosi dilakukan melalui pendekatan terpadu. Para guru mendapatkan perlakuan secara kultural dan material sedemikian rupa sehingga memperoleh jaminan yang memadai untuk bekerja efektif secara profesional.

Perkembangan ilmu pengetahuan di China juga menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Strategi zonanisasi yang mengarahkan ibukota Beijing dan Tianjin sebagai pusat penelitian dan pengembangan dunia. Universitas-universitas itu mendidik para elite sosial dan pemimpin yang telah mengungguli tamatan-tamatan sekolah menengah ke atas lain melalui serangkaian ujian yang ketat yang telah berlangsung sejak murid-murid masuk ke sekolah dasar, dan diseleksi lewat sistem rekrutmen universitas di China yang sangat kompetitif. (Global Journal Insight)

Dalam sebuah situs, selain guru, ada dua hal penting lain yang patut di pelajari dari pendidikan di China. Pertama, komitmen dan konsistensi pemerintah China untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan berdasarkan kebutuhan mereka sendiri.

Kedua, kurikulum dan buku teks disusun berdasarkan hasil penelitian. Hal itu menuntut digalakkannya penelitian psikologi untuk pendidikan. Penelitian-penelitian psikologi amat diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pengetahuan yang sesuai untuk dipelajari anak-anak menurut usia mereka dan bagaimana mengajarkan pengetahuan itu. Kurikulum dan metode tidak semata-mata meniru dari Barat atau negara lain, tetapi yang sesuai dengan masyarakat China.

Kurikulum dan buku teks tidak disusun berdasarkan subjek yang ada, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan anak-anak sesuai dengan usianya. Jadi, anak-anak tidak terbebani oleh banyaknya mata ajar, tugas-tugas, atau membaca buku yang cara penyajiannya tidak sesuai dengan kemampuan kognitif di usia mereka.

Jangan ada lagi, misalnya, anak-anak di taman kanak-kanak yang dipaksa ikut les tambahan belajar membaca supaya bisa lulus tes masuk sekolah dasar. Atau jangan ada lagi siswa yang diharuskan mengerjakan lembar kerja yang hurufnya dicetak kecil-kecil seperti buku teks orang dewasa.

Sebagai orang yang hidup dalam era global, sebaik tidak mencampurkan urusan agama dengan “belajar”. Kita hormati dan hargai siapa pun yang ingin merayakan hari rayanya, tetapi apakah kita harus “berdosa” kalau kita ingin mempelajari ‘kebudayaan, strategi, kiat, program’ yang membawa kita sukses? Gong Xi Fa Cai.

 

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *