EKSISTENSI media dalam dimensi ruang dan waktu terus meningkat. Seiring dengan perkembangan alat teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih, dunia pers bukan lagi sekadar keinginan melainkan sudah menjadi keharusan zaman.
Media sudah menjadi kebutuhan sehari-hari, sehingga sulit hidup tanpa media (River, Jensen dan Peterson, 2003:25). Kemajuan zaman terasa hampa tanpa kehadiran wahana komunikasi massa sebagai pendukung dalam setiap aksi dan reaksi yang terjadi. Setiap saat terjadi perubahan baik dalam bentuk evolusi maupun revolusi.
Dalam kondisi demikian, media berperan aktif untuk update dan share informasi. Atas kemajuan tersebut, akses informasi semakin mudah dan cepat. Perangkatnya sangat bervariasi sehingga kita tinggal menentukan pilihan sesuai keinginan.
Tentunya banyak dampak positif yang dapat dirasakan atas kehadiran beragam bentuk media. Seiring dengan itu, dampak negatif yang ditimbulkan juga turut menyertai.
Dampak yang dimaksud selalu terkait dengan ranah agama, sosial, politik dan budaya. Media memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat. Media mampu merekayasa informasi yang biasa menjadi berita luar biasa.
Di samping itu, kontennya kerap didramatisir dan dipoles sedemikian rupa. Jika berita yang disampaikan menggambarkan sesuatu yang baik bagi masyarakat, terkadang muncul reaksi simpati. Sebaliknya, apabila berita yang dimuat menggambarkan keburukan maka secara spontanitas muncul antipati masyarakat.
Apabila emosi tidak terkendali, sifat ofensif terhadap konten yang disampaikan biasanya sering terjadi. Tidak sedikit yang melakukan aksi proaktif dengan tindakan anarkis. Sementara itu, perbedaan persepsi terkadang terjadi.
Headline antar media selalu berbeda satu sama lain. Ini terjadi karena kepentingan yang berbeda-beda. Isi pesan didesain tergantung keinginan pengelola. Media dalam kapasitasnya dapat menajamkan atau justru menumpulkan opini publik.
Suatu informasi dapat dijadikan isu publik atau tidak. Pilihannya sangat tergantung pada tingkat keinginan atau kebutuhan pengelola. Suatu hal yang sangat krusial apabila opini privat didesain menjadi isu publik oleh kalangan elite.
Opini publik mudah dibentuk sekaligus direkayasa. Menguasai pengendalian opini dan isu publik merupakan salah satu kekuatan penting saat ini karena terdapat kekuatan besar dalam mempengaruhi pandangan dan tindakan banyak orang. (Rivers, Jensen dan Peterson, 2003: 25).
Dalam kondisi tersebut, opini dan isu digiring sesuai keinginan dan permintaan klien. Politisi yang sekaligus pemilik sudah pasti selalu campur tangan dalam setiap pesan. Di sinilah titik terang adanya penjajahan baru terhadap ruang publik.
Ruang kebebasan dikendalikan sepenuhnya oleh stockholder (pemilik modal) dan stakeholder (pemangku kepentingan). Di Indonesia, media massa tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Setidaknya selama kurun waktu 28 tahun terakhir (1988-2016) sudah ribuan yang bermunculan dalam berbagai bentuk (cetak, elektronik, online) mulai dari nasional sampai lokal.
Eksistensinya diperkuat oleh dukungan pemerintah selama era reformasi. Kebebasan untuk terlibat dalam dunia pers terbuka lebar. Pada umumnya, regulasi tentang media merujuk pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ketiga undang-undang tersebut memberi kekuatan yuridis kepada masyarakat untuk berekspresi. Tentunya selama memenuhi aturan administrasi dan teknis yang ditetapkan.
Dengan adanya Undang-undang terkait kebebasan pers, penyiaran dan keterbukaan informasi memberikan jaminan kepada setiap insan selaku warga negara Indonesia untuk mendapatkan dan memperoleh informasi mengenai segala peristiwa, fenomena dan isu yang telah, sedang dan akan bergulir terutama mengenai peningkatan kesejahteraan hidup, keamanan dan kenyamanan sebagai warga negara.
Dalam hal ini tentu saja terkait dengan isu-isu kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan oleh pemerintah berikut bentuk pengimplementasiannya secara nyata. Selayaknya pemberian informasi secara jujur, berimbang, dan berdasarkan realitas harus diberikan kepada masyarakat.
Idealnya, hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi para pemilik dan pengelola media. Namun dalam kenyataannya, kebanyakan pemilik dan pengelola media tidak mampu menyajikan segala informasi ke ruang publik secara berimbang, jujur dan menganut paham kebebasan dalam berpikir.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Berita atau informasi yang disampaikan ke ruang publik seolah mengarahkan si pembacanya untuk menyetujui atau berpihak pada argumen yang telah ditata dengan baik oleh media.
Media dijadikan sebagai sarana yang paling efektif bagi para pemangku kepentingan untuk “brainwash” atau mencuci otak si pembaca sesuai dengan opini yang dibangun oleh media tersebut. Kebebasan yang telah diatur oleh Undang-undang seolah tidak mampu memberikan jaminan untuk memperoleh informasi yang berimbang, jujur dan apa adanya.
Sebagai contoh, beberapa acara yang menampilkan berita atau informasi dengan konsep berimbang, jujur, dan mengedepankan paham kebebasan berpikir telah menghilang dan begitu juga koran-koran atau majalah-majalah dengan konsep yang sama sudah menghilang ditelan bumi.
Berita yang dikedepankan atau program yang mengutamakan dukungan terhadap pemangku kepentingan tertentu mampu bertahan tanpa takut dihilangkan atau dilenyapkan. Jelas terlihat, bahwa media massa di dominasi oleh para pemilik modal dan pemegang kepentingan.
Pihak-pihak yang memiliki dan mengelola media massa seolah-olah tidak mampu untuk menyajikan berita yang jujur dan berimbang kepada masyarakat.
Secara rasio dapat dimaklumi mengingat para pemilik modal tentunya akan berpikir tentang profit dan keberlanjutan media mereka, jika mereka menyajikan berita atau informasi yang berlawanan arus dari kepentingan kelompok tertentu maka dapat dipastikan keberadaan mereka akan berada di ujung tanduk.
Di lain sisi, tanggung jawab mereka sebagai sarana informasi yang menjembatani antara publik dengan pemerintahan seharusnya lebih kedepankan sesuai dengan Undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagai ruang publik, media mesti mengakomodasi kepentingan publik, bukan malah memindahkan kepentingan publik menjadi interprestasi media secara khusus (Mc Quail, 1994: 136).
Ruang publik sebagai ruang kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan berekspresi merupakan pilar dari sistem demokrasi. Demokrasi memberi kebebasan kepada masyarakat untuk bertindak sesuai aturan yang berlaku.
Ruang publik diposisikan sebagai pilar utama dalam proses demokrasi. Melalui pemanfaatan media, masyarakat bisa mengawasi tindakan pemerintah atau swasta, begitu pun sebaliknya. Tepat diarahkan menjadi wahana check and balance dalam interaksi antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Wilayah kebebasan mesti bebas dari dominasi, hegemoni dan intervensi kelompok tertentu. Interaksi masyarakat mesti berada pada koridor tanpa tendensi. Kondisi yang terjadi tidak direkayasa oleh para elit pengendali kepentingan.
Ruang kebebasan publik tetap bebas dari ketidakbebasan. Ketidakbebasan dalam konteks ini dipahami sebagai upaya pembatasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Media dalam termin ruang publik jangan sampai bermata dua. Di satu sisi mengakomodasi kepentingan publik tetapi di sisi lain justru mengabaikan harapan publik. Dipolarisasi sebagai kawan atau lawan dari masyarakat. Kini ruang publik seolah-olah sudah dikuasai penuh para elite kuasa (pemilik modal dan pemangku kepentingan), baik dari kalangan pemerintah maupun swasta.
Masyarakat hanya bertindak layaknya penonton. Media yang ada saat ini bukan lagi ruang publik sesungguhnya yang mendorong kepentingan masyarakat melainkan lebih pada kuasi ruang publik atau ruang transaksi kapital.
Melihat fenomena yang ada, penulis menyimpulkan bahwa publik atau masyarakat sebagai penerima informasi dari media yang didominasi oleh pemegang modal dan para elite atau kelompok tertentu harus mampu berpikir secara kritis atau critical thinking.
Berpikir kritis adalah sebuah kemampuan untuk memandang sesuatu secara objektif dengan mengabaikan perasaan suka, suku, ras, agama, dan fanatisme terhadap sesuatu atau seseorang. Artinya adalah ketika sebuah informasi sampai ke ruang publik, maka si pembaca seharusnya tidak meng-amin-kan dan langsung menelan mentah opini yang dibangun oleh media.
Si pembaca harus mampu menilainya secara objektif terlepas dari perasaan suka, suku, ras, agama dan fanatisme tersebut. Jangan sampai rasa subjektivitas kita menutup mata hati dan pikiran kita terhadap kenyataan yang ada.
*Akademisi UIN STS Jambi