OPINI  

Dinasti Politik di Aras Lokal

Dinasti Politik

FENOMENA dinasti politik yang ada di Indonesia, sering kali menjadi hal yang harus dihindari. Mengingat banyaknya dampak negatif dari pada positif yang dihasilkan dari dinasti politik, membuat kita perlu ikut serta dalam menyikapinya. Dinasti politik merupakan suatu kemunduran atau ketidaksempurnaan dari demokrasi di Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dan sering terjadinya praktik dinasti politik yang terjadi di daerah. Pasca reformasi 1998, Indonesia mengadopsi sistem demokrasi yang terbuka, bahkan cenderung liberal. Terbukanya ruang publik politis kemudian segera diikuti dengan fenomena riuh rendahnya kontestasi perebutan kekuasaan.

Terlebih ketika aturan tentang desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah diberlakukan. Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan pada tahun 2016 terdapat tidak kurang dari 60 dinasti politik yang tersebar di seantero Indonesia. Yang paling populer tentu dinasti politik Ratu Atut di Banten. Kasus Ratu Atut, hanya semacam fenomena gunung es. Di daerah-daerah yang jauh dari ibukota dan luput dari pemberitaan, dinasti politik tumbuh subur dan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Praktik ini makin subur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik. MK membatalkan pasal 7 huruf  (r) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Wali Kota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Begitu pula pengaturan oleh Peraturan KPU maupun Surat Edaran KPU mengenai petahana. Sebab, keluarga petahana bisa mencalonkan diri untuk maju di dalam Pilkada menggantikan keluarganya.

Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan politik dinasti pada pilkada di Indonesia. Titik awal buramnya politik praktis di Indonesia sebagai negara demokrasi di Asia Tenggara. MK tidak mempertimbangkan negara Indonesia sebagai negara republik bukan kerajaan.

Thomas Hobbes, dalam Leviathan menyebut manusia dilahirkan dengan membawa hasrat untuk berkuasa. Hasrat pada kekuasaan itu merupakan dorongan alamiah yang terus menerus (perpetual) dan tidak kenal lelah (restless). Satu-satunya yang dapat menghentikan dorongan itu hanya kematian.

Sekilas tidak ada yang salah dengan politik dinasti. Terlebih jika mengacu pada dalil demokrasi, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dinasti politik yang berkembang selama ini menciderai esensi demokrasi itu sendiri.

Persoalan ikut-mengikuti jejak kerabat dan sanak saudara dalam dunia politik di Indonesia memang bukan hal baru dan tampaknya belum akan mereda. Berdasarkan pengamatan LIPI (21/09/2019), Politik dinasti muncul di banyak wilayah misalnya di Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung ataupu Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura), Dinasti Syaukani HR di Kutai Kartanegara, Dinasti Itoc Tochija di Cimahi dan lain-lain.

Tetapi, dinasti yang paling masif terjadi di Banten dengan Dinasti Chasan Sochib. Dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting dalam politik di provinsi tersebut.

Ratu Atut (anak) sebagai gubernur Banten dua periode, Ratu Tata Chasanah (anak), sebagai Wakil Bupati Serang (2010-2015) dan Bupati Serang (2016-2020), Airin Rahmy Diany (menantu) sebagai Wali Kota Tangerang Selatan selama 2 periode, Andhika (cucu) sebagai anggota DPD RI dari Provinsi Banten periode 2009-2014 dan anggota DPR RI Dapil 1 Banten periode 2014-2016 serta Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022, Heryani Yuhana (istri ke-5) sebagai anggota DPRD Pandeglang periode 2009-2011, Ratna Komalasari (istri ke-6) sebagai anggota DPRD kota Serang periode 2009-2013 dan masih banyak lagi dari trah keluarga ini yang menduduki posisi penting baik itu sebagai fungsionaris Partai Golkar, pimpinan organisasi pengusaha seperti KADIN dan Gapensi, maupun organisasi sosial.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Kisah di atas hanya cuplikan dari dinasti politik yang terjadi di daerah lain. Di Jambi, Gubernur Jambi Fachrori Umar mewarisi politik kekerabatan kepada istrinya Rahima (anggota DPRD Provinsi Jambi melalui partai NasDem) dan anak kandungnya Ria Mayang Sari, anggota DPD RI.

Selain itu, Asafri Jaya Bakhri (AJB) yang merupakan Wali Kota Sungaipenuh dua periode yang akan maju dalam pemilihan Gubernur Jambi, mengusung putra kandungnya Fikar Azami (mantan Ketua DPRD Sungai Penuh) untuk melanjutkan takhta kepemimpinannya. Sedangkan anak perempuan AJB , Ezzaty tercatat sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi. Kemudian istri AJB, Hj. Emizola Asafri, menjadi Ketua NasDem Sungai Penuh.

“Dinasti Politik” Batang Hari Kabupaten Batanghari merupakan salah satu daerah peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020. Ada tiga pasangan bakal calon (Balon) Bupati-Wakil Bupati Batanghari mencoba peruntungan kursi empuk BH 1 B dan BH 2 B. Pasangan pertama yakni Muhammad Fadhil Arief dan Bakhtiar. Latar belakang pasangan ini adalah birokrat dengan jabatan Sekretaris daerah (Sekda).

Muhammad Fadhil Arief menjabat Sekda Muaro Jambi, sedangkan Bakhtiar menjabat Sekda Batanghari. Duo Sekda kelahiran Batanghari ini digadang-gadang sebagai “Kuda Hitam”. Orang tua mereka tak pernah menjabat Bupati atau Wakil Bupati Batanghari. Dengan demikian, pasangan Fadhil-Bakhtiar lolos dari isu “dinasti politik”.

Pasangan kedua yakni Yunninta Asmara dan M Mahdan. Keduanya masih tercatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Batanghari. Yunninta Asmara menjabat Wakil Ketua I, sedangkan M Mahdan tergabung dalam Komisi I. Mahdan pernah menjabat Ketua DPRD Batanghari periode 2014-2019. Yunninta Asmara merupakan istri Bupati Batanghari aktif, Syahirsah Sy.

Syahirsah dua periode memimpin kabupaten berjuluk Serentak Bak Regam. Periode pertama menjabat Bupati Batanghari periode 2006-2011, Syahirsah berpasangan dengan Ardian Faisal.

Syahirsah terpilih lagi memimpin Kabupaten Batanghari periode 2016-2021, berpasangan dengan Sofia Joesoef (istri Abdul Fattah). Sebelum menjabat Bupati Batanghari ke-13, Syahirsah merupakan Wakil Bupati Batanghari periode 2001-2006. Kala itu, Bupati Batanghari dijabat Abdul Fattah. Sedangkan Mahdan merupakan adik ipar Bupati Batanghari periode 2013-2016, Sinwan.

Sebelum menjabat Bupati, Sinwan merupakan Wakil Bupati periode 2011-2016 pasangan Abdul Fattah. Sinwan dan Abdul Fattah kala itu sama-sama duduk di parlemen. Setelah pasangan Fattah-Sinwan menang, Mahdan terpilih sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) Sinwan di legislatif dari Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Karir politik Mahdan terus melejit. Pemilihan legislatif (Pileg) 2014-2019, Mahdan berhasil menduduki jabatan Ketua DPRD Kabupaten Batanghari dari Fraksi PAN.

Pasangan ketiga yakni M Hafiz (Ketua DPD PAN Batanghari periode 2020-2024) dan Camelia Puji Astuti. Pasangan ini merupakan anak mantan Bupati Batanghari. Hafiz adalah putra Abdul Fattah, Bupati Batanghari periode 2001-2006 dan 2011-2013. Sedangkan Camelia adalah putri Bupati Batanghari periode 1980-1991, Hasip Kalimuddin Syam.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Camelia kini menjabat anggota DPRD Kabupaten Batanghari periode 2019-2014. Sementara Hafiz merupakan kader PAN. Istri Hafiz bernama Anita Yasmin saat ini menjabat Ketua DPRD Kabupaten Batanghari. Mantan presenter TVRI Jambi ini merupakan Ketua DPRD Kabupaten termuda di Indonesia.

Konstitusi membenarkan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Kecuali ada putusan pengadilan yang inkrah telah mencabut hak politiknya. Dalam dinasti politik tidak pernah mengukur kapasitas dan kapabilitas. Hubungan kekeluargaan mengalahkan kriteria prestasi. Jabatan-jabatan politis di gilir dan diperebutkan oleh orang-orang yang masih dalam lingkaran trah keluarga. Proses injeksi publisitas dan uang merupakan hal yang paling dominan untuk mendapatkan kekuasaan.

Dengan maraknya dinasti politik, tiga pilar demokrasi berada dalam ancaman besar. Sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini dikuasai orang-orang sekerabat. Dinasti politik menciptakan sebuah segitiga piramida dimana seorang pemimpin yang mengangkat dan merangkul sebagian besar keluarganya untuk turut andil dalam urusan politik dan pemerintahan yang dijalankannya. Akarnya akan menjalar ke seluruh sektor pemerintahan di bawah kekuasaannya serta memperkuat jaringan baru yang bisa tersentuh olehnya.

Ironisnya, para kepala daerah yang menggunakan kekuatan dinasti politik ini cenderung korup. Mereka kerap menyelewengkan amanah jabatan dan sekalipun sudah lengser, mereka masih bisa menyetir pemerintahan karena penerusnya dari kalangan keluarga sendiri.

Rapat-rapat atau sidang-sidang yang sedianya menentukan hajat orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga. Karena dinasti politik rentan menciptakan sifat koruptif. Dalam pendekatan teoritis, Lord Acton mengatakan, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.

Kekuasaan yang mutlak menjadikan seseorang berbuat korupsi. Jika demikian, maka sudah sepatutnya menginduksi masyarakat, sebagai bagian dari penyadaran publik demokrasi untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa dinasti politik cenderung merugikan lantaran menggerogoti anggaran, menyelewengkan kekuasaan dan menghambat terimplementasikannya good governance and clean governance dan sebagai filosofi dasar bahwa negara berada dalam kedaulatan rakyat.

 

*Akademisi UIN STS Jambi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *