Kisah Martin McDonagh mengisahkan pertentangan sepasang sobat, Pádraic Súilleabháin (Colin Farrell) dan Colm Doherty (Brendan Gleeson), yang sebetulnya dituturkan dengan cara yang begitu sederhana.
Saking sederhananya, bahkan bergotong-royong dongeng film ini terlihat membosankan, persis mirip lingkungan latar lokasi cerita The Banshees of Inisherin ini berada.
Namun bila ditelisik lebih dalam, cerita pertentangan dua sahabat ini bantu-membantu bisa terhubung dengan pengalaman banyak orang. Salah satunya yaitu, dikala seseorang merasa tak bisa lagi sejalan dengan orang terdekatnya, entah teman ataupun pasangan.
Rasa ‘perpisahan’ itu mampu memiliki arti disebabkan banyak hal, mulai dari perbedaan visi, keinginan, atau mungkin memang perubahan arah dan pengalaman kehidupan.
Meski begitu, perpisahan antar dua manusia itu tak senantiasa berujung hening. Seringkali pula, kedua manusia yang semula lekat bagai perangko sekarang bagai dua kutub magnet yang serupa: saling menolak.
Narasi pertentangan antar insan yang semula rekat dalam film ini pun dikuatkan dengan simbolisme latar kisah yang dipakai McDonagh, adalah Perang Saudara Irlandia yang terjadi pada 1922-1923.
Perang itu sendiri dilatarbelakangi dari keinginan dua kubu yang berlawanan di masyarakat Irlandia, satu ingin merdeka sepenuhnya, sedangkan yang lain masih ingin menjadi bagian dari persemakmuran Inggris.
Melalui pertentangan Pádraic dan Colm pula, McDonagh mengirim penonton menyelami segala emosi yang terjadi dalam konflik antar insan yang semula satu jiwa, mulai dari dingin, galau, suram, merana, horor, hingga sepoi hangat kerinduan.
Mood itu pun terbantu dengan latar lokasi yang sejujurnya saya bilang indah, tapi sangat membosankan. Awan kelabu, angin kencang, sinar matahari yang langka, hingga situasi yang begitu sepi mendukung narasi utama film ini soal Pádraic dan Colm.
Namun aku mampu bertahan menghadapi suasana tersebut berkat sinematografi yang ciamik dari Ben Davis yang bisa menangkap keindahan di balik lingkungan membosankan pulau utara Eropa itu.
Belum lagi dari penampilan Colin Farrell dan Brendan Gleeson yang begitu tepat membawakan huruf mereka masing-masing.
Colin Farrell bisa menjinjing penonton dari yang semula iba, lalu kesal, sampai balasannya mengerti pergantian emosi juga tindakannya dalam film ini. Begitu pula dengan Gleeson yang menciptakan kesal, tetapi sekaligus masih mampu mengajak penonton tenggang rasa kepadanya.
Hingga kemudian, aku yang semula merasa film ini begitu menjemukan justru menikmati setiap tahap drama lempeng film ini. Apalagi saat aku balasannya bisa tertawa getir mendapatkan dark jokes yang ditampilkan McDonagh, sehabis sekian puluh menit film berlangsung.
Ketika kredit kesudahannya timbul, saya bisa mengerti mengapa film ini memikat banyak kritikus film.
Lewat The Banshees of Inisherin, Martin McDonagh seolah menciptakan penonton ikut mencicipi gejolak emosi yang sejatinya terasa intens, tetapi tanpa banyak dramatisasi secara visual ataupun pelakonan. Bagi aku, itu adalah resep belakang layar dari film ini.
Aspek emosional dengan dramatisasi yang tampil senatural mungkin sampai fokus pada esensi drama itu sendiri, ialah nilai humanisme dari manusia, ialah nilai unggul dari The Banshees of Inisherin.
Meski begitu, film yang bahu-membahu bagus dan memiliki arti ini terperinci bukan film yang akan aku tonton lagi dalam waktu bersahabat.
Selain dibandingkan dengan ceritanya yang lempeng dan masih teringat terperinci, kesedihan di dalamnya terasa menciptakan aku terjebak dalam pulau Inisherin yang begitu membosankan, mirip menghadapi Jakarta yang sarat kemacetan dan hujan juga mendung selama seminggu sarat .