DETAIL.ID, Jambi – Hingga saat ini, ratusan masyarakat adat di wilayah Provinsi Jambi masih terus bergelut dengan sejumlah persoalan hak atas lingkungan ataupun ruang hidup.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPD Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) kepada perwakilan Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) yakni, Sahat Lumbanraja dan Imanta Ginting di Swisbell Hotel, Jambi pada Selasa, 25 Oktober 2022.
Sejumlah persoalan menahun terkait konflik agraria dan lingkungan hidup pun menjadi pembahasan panjang dalam pertemuan pengurus DPD PIKI Provinsi Jambi dengan Deputi II KSP tersebut.
Misalnya terdapat masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) yang konon hidup di kawasan hutan, namun belakangan terus tergerus ruang hidupnya oleh masifnya ekspansi bisnis dari sejumlah korporasi baik bergerak di sektor pertambangan maupun perkebunan.
Gesekan yang timbul di antara masyarakat adat dan korporasi tersebut pun menimbulkan tanda tanya besar terhadap keberpihakan pemerintah baik pusat maupun daerah atau Pemprov Jambi terhadap masyarakat hukum adat.
“Menyempitnya ruang hidup dalam hal ini hutan merupakan persoalan besar ya. Kalau kita lihat belakangan ini, kita tarik ini ke persoalan yang terjadi pada saudara-saudara kita masyarakat SAD. Maka tentu ini jadi pertanyaan besar bagi kita semua,” kata Ketua DPD Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Provinsi Jambi, Robinson Hutapea, Rabu 26 Oktober 2022.
Menurut dia, kondisi Provinsi Jambi menempati urutan ke-2 dengan konflik agraria terbanyak se-nasional merupakan akumulasi dari konflik-konflik yang tidak pernah diseriusi pemerintah untuk diselesaikan pada masa-masa lampau.
Keberpihakan atau perhatian terhadap ruang hidup masyarakat SAD pun dinilai tidak sepenuh hati, sekalipun pemerintah pusat sudah menggagas skema perhutanan sosial sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan untuk menekan angka konflik agraria.
Yang secara garis besarnya terkait pengelolaan hutan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Namun sekalipun skema Perhutanan Sosial tersebut telah dijalankan oleh pemerintah dengan maksud untuk menekan angka konflik agraria yang terjadi, nyatanya konflik atas nama tanah yang kemudian menyeret masyarakat adat dengan korporasi masih merupakan hal yang tak asing di wilayah Provinsi Jambi.
Adapun beberapa yang terinventarisir ke dalam Pansus konflik lahan DPRD Provinsi Jambi beberapa waktu lalu yaitu Kelompok 7 Orang Rimba dengan PT SAL di Sarolangun dan Merangin dengan luasan lahan 19.701,15 hektare Merangin dan 14.166 hektare di Sarolangun.
Kemudian konflik agraria yang melibatkan masyarakat Kelompok SAD 113 dengan PT Berkah Sawit Utama (BSU) di Kabupaten Batanghari dengan luasan lahan 3.550 hektare.
“Itu juga belum termasuk konflik dengan yang tidak terinventarisir oleh Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi. Karna itu saya dapat informasinya kan disaring oleh Pansus, mana konflik yang akan diproses. Mana yang kira-kira belum memenuhi kriteria kan gitu,” ujar Robinson Hutapea yang juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 6 Kota Jambi.
Sebenarnya, menurut Robinson, potensi sumber daya alam Provinsi Jambi dengan segala keragaman masyarakat adatnya seperti orang rimba atau SAD tentu merupakan salah satu kekayaan yang harus dilestarikan, dijaga keutuh ciptaannya tanpa harus ada yang terpinggirkan atau termarginalisasi oleh kemajuan peradaban.
“Jelas kalau Provinsi Jambi dilimpahi dengan kekayaan baik dari segi SDA maupun dari segi budaya atau adat istiadat. Kami dari DPD PIKI Provinsi Jambi mendorong agar Pemerintah pusat maupun daerah bisa lebih memberikan keberpihakannya atau perlindungan terhadap masyarakat adat ini,” katanya.
“Bagaimana agar ruang hidup masyarakat tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat bisa lebih baik. Ya, jangan sampai masyarakat adat terpinggirkan dan hanya jadi penonton atas kemajuan teknologi dan ekspansi bisnis besar-besaran dari korporasi di tanah sendiri. Dari sisi regulasi harus jelas kemudian penerapannya harus kita kawal betul,” ujar Robinson.
Merespons pernyataan Robinson, Sahat Lumban Raja menyampaikan terima kasih atas saran dan partisipasi DPD PIKI Provinsi Jambi.
“Iya, terima kasih atas informasi dan sarannya. Kita hadir ke Jambi untuk melihat langsung serta memetakan persoalan-persoalan konflik agraria dan lingkungan hidup yang ada di Jambi karena ini masuk dalam atensi Pak Presiden,” ujar Sahat Lumban Raja selaku Staf Presiden, Deputi II.
Reporter: Juan Ambarita