Bercocok Tanam Seadanya
Malenggang, anak laki-laki Temenggung Apung tinggal di rumah semi permanen berukuran 5×7 meter. Rata-rata kehidupan MHA SAD berada di bawah garis kemiskinan.
Di sekitar rumah ini tampak pepohonan karet dan sawit tumbuh rapi namun kurang terawat. Di sela-selanya terlihat ubi kayu dan pohon buah-buahan yang ditanam seadanya.
“Kami belajar bercocok tanam dengan masyarakat luar. Tidak ada pendampingan maupun bimbingan dari pemerintah seperti apa bercocok tanam yang baik dan benar,” katanya.
Di rumah itu, Malenggang tinggal bersama istri dan kedua anak lelakinya. Mereka tampak bahagia meski hidup seadanya. “Alhamdulillah. Sawit yang kami tanam sudah mulai menghasilkan. Dua minggu sekali kami panen. Sekali panen 1,5 ton sampai 2 ton per hektare,” kata Malenggang yang mengaku punya 3 hektare kebun sawit.
Malenggang menjelaskan ekonomi MHA SAD sudah mulai terbangun. Dari hasil kebun sawit, dia sudah bisa menabung dan menyekolahkan anaknya di kelas dua sekolah dasar jarak jauh. Lokasinya cukup jauh dari rumah. Sementara anaknya yang satu lagi masih berusia empat tahun. Tahun depan bakal masuk PAUD atau TK.
Malenggang mengaku kesal dan sempat emosi mendengar kegiatan pihak perusahaan itu. Mereka dituding hidup menumpang.
“Pihak perusahaan waktu itu didampingi oleh Kepala Dusun Benteng Makmur. Sementara pemukiman kita ini masuk dalam wilayah Dusun Wanarejo. Kok malah kepala dusun kita tidak dilibatkan. Yang dilibatkan justru kepala dusun sebelah,” ujarnya ketus.
Yang bikin Malenggang tambah kesal, ada informasi yang mengatakan jika MHA SAD hidup menumpang di Dusun Wanarejo. Informasi tersebut juga menyebutkan bakal ada ganti rugi lahan namun hanya sekadar.
“Kata orang itu nanti lahan yang ada bakal ada ganti ruginya, tapi tidak banyak, hanya sekadarnya. Sebab kata dia, kami di sini hanya menumpang hidup!” kata Malenggang kesal.
Apa pun alasannya, Malenggang dan MHA SAD Muara Kilis akan menolak aktivitas tambang di wilayah hidup mereka. Mereka telah membangun tempat tinggal walaupun seadanya. Kebun yang sudah bertahun-tahun mereka garap telah menghasilkan. Selain itu, memang sudah tidak ada lagi hutan ataupun lahan kosong yang bisa mereka manfaatkan sebagai wilayah hidup.
”Jika perusahaan memaksa untuk melakukan tambang di sini, kami siap mati mempertahankan wilayah kami!” ujarnya.
Ketua Adat MHA SAD Muara Kilis, Sril pun berkata yang sama. Menurutnya, kehidupan MHA SAD sekarang ini sudah sangat susah sekali. Sebab tidak ada lagi hutan yang hasilnya bisa diandalkan untuk hidup. Kondisi ini membuat dia bersama MHA SAD terpaksa hidup menetap.
Untuk bertahan hidup dan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, lanjut Sril menjelaskan, MHA SAD terpaksa bertani dan berkebun. Mereka belajar bertani dan berkebun dari warga sekitar. Hal ini membuat hasil tani dan hasil kebun yang mereka produksi tidak sebanding dengan yang mereka kerjakan.
“Kami tidak ada pengalaman soal bertani maupun berkebun. Jadi apa yang ditanam orang, itu juga yang kami tanam. Yang jelas kami harus berusaha untuk bisa hidup,” kata dia.
Sril mengaku sangat merindukan hutan seperti dahulu. Hasil hutan seperti rotan, madu, getah damar, jernang, dan lainnya sangat mudah didapat. “Kalau hutan masih lebat seperti dahulu, untuk mencari rusa, kijang, labi-labi sangat gampang. Kalau sekarang susah,” ujarnya.
Andaikan masih ada hutan, cuaca terasa sejuk. “Tidak seperti sekarang, panasnya bukan main. Juga tidak ada lagi tempat untuk anak-anak bermain. Semuanya sudah menjadi kebun perusahaan dan masyarakat,” katanya.
Sril kecewa terhadap pemerintah. “Pemerintah kan sudah tahu kalau ada kami di sini. Kok masih diberikan izin kepada perusahaan tambang. Kalau ini dijadikan kawasan tambang, anak-anak kami nantinya mau tinggal di mana?” kata Sril.
Apa harapannya kepada pemerintah? “Pemerintah kan lebih tahu apa yang kami inginkan. Satu-satunya cuma di sinilah tempat tinggal kami. Tidak mungkin pemerintah menyia-nyiakan kami. Bapak-bapak pemerintah itu harus memperjuangkan seperti apa kehidupan kami selanjutnya,” ucapnya berharap.