OPINI  

Membahasakan Silaturahmi Saat Idulfitri

Silaturahmi Saat Idulfitri

DI TAHUN INI, suasana Idulfitri memang sedikit berbeda. Meskipun pandemi Covid-19 berlangsung di tengah Hari Raya, silaturahmi tetap bisa dijalankan. Meski mudik dilarang, silaturahmi bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja dengan memanfaatkan teknologi.

Perayaan Idulfitri setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa biasanya diwarnai dengan kegiatan mudik untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga dan kerabat. Namun di tengah pandemi Covid-19 ini aktivitas ‘rutin’ saling mengunjungi tersebut ‘terpaksa’ tidak dilakukan demi mencegah penyebaran virus.

Harus diakui, bersilaturahmi dalam suasana Lebaran di tengah kondisi pandemi Covid-19 terasa agak berbeda. Biasanya ada gelak tawa, cerita-cerita seru di perantau, salam dan pelukan hangat dari kerabat hingga sahabat. Demi memutus rantai persebaran Covid-19, kita bisa ‘merekayasa’ dan memanfaatkan teknologi informasi dalam melakukan hal ini.

Mudik bisa saja disekat, jalan bisa ditutup, tapi silaturahmi di era digital ini tak bisa disekati oleh apa pun dan dalam keadaan apa pun. Silaturahmi harus tetap dilakukan untuk menjaga persaudaraan dan membangun hubungan baik. Jarak dan waktu bukanlah penghalang untuk menjalin silaturahmi, media sosial bisa menjadi salah satu sarana silaturahmi yang komunikatif.

Itulah silaturahmi digital, salah satu gaya hidup yang berubah di saat pandemi Covid-19. Silaturahmi dapat dilakukan dengan memaksimalkan kemajuan teknologi informasi. Hal ini membuat orang yang tidak bisa mudik berkesempatan untuk bersilaturahmi secara langsung, bisa tetap melakukannya.

Dalam konteks pandemi, tradisi bersalaman dan saling mengunjungi dalam selama Idulfitri diganti dengan silaturahmi secara daring. Diketahui, silaturahmi itu memang memiliki nilai kemuliaan, tradisi baik untuk dilakukan, tapi kita lebih baik mementingkan pencegahan persebaran Covid-19 yang bisa mengancam nyawa anggota keluarga lainnya

Sebagai manusia yang memiliki potensi untuk berbuat salah dan khilaf, maka saat Idulfitri, kita membuka diri untuk memaafkan dan menyadari kesalahan dan bersilaturahmi untuk merajutkan kembali hubungan dengan orang lain. Niat baik ini harus dibahasakan, kalau kita bertemu, lalu diam, maka silaturahmi tidak akan terjadi.

Idulfitri di tengah pandemi justru menjadi ujian bagi kita untuk menunjukkan karakter takwa dan sosial yang sesungguhnya. Wabah korona membuka tabir betapa niat baik kita untuk ketemu ‘disekat’, bukan berarti kita tidak bisa menunaikan niat baik itu. Mari kita bahasakan niat baik itu agar semua keluarga bahagia.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]

Kita harus sepakat, pandemi Covid-19 tidak mengubah makna Idulfitri, hanya beberapa tradisi yang berubah seiring dengan dilarangnya mudik demi niat baik untuk mencegah penyebaran Covid-19 ini. Idulfitri dalam masa pandemi seolah-olah akan menghilangkan kultur yang sudah berakar bertahun-tahun, jangan sekali-kali kita merasa kehilangan makna dan hakikat dari Idulfitri kali ini. Padahal, tetap bisa dilakukan dengan cara yang berbeda.

Apalah gunanya bersilaturahmi langsung, tetapi menularkan virus yang membahayakan orang lain, bukan itu sejatinya silaturahmi. Alangkah lebih baiknya kita menghadirkan kebahagiaan kepada orang lain dengan mengganti pertemuan secara fisik dengan bersilaturahmi daring melalui media sosial, WhatsApp (WA), video call, dan aplikasi daring lainnya.

Karena silaturahmi jarak jauh, maka bahasakan dengan santun penuh kebahagiaan, keceriaan, sambil mendoakan keselamatan agar dijauhkan dari ganasnya wabah Covid-19. Kalau bisa kirim ‘sesuatu’ yang diperlukan, maka sebenarnya, itulah ’’silaturahmi”.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membahasakan silaturahmi, yakni kesantunan, dengan memilih diksi yang membuat bahagia, ceria, penuh dengan tata karma, senyum sapa dan saling mendoakan. Bahasanya  mudah dimengerti, tidak berbelit belit, responsif sehingga seolah olah bertemu langsung

Jadi, kesantunan bersilaturahmi merupakan cara untuk menghilang sekat-sekat fisik yang terkendala larangan mudik dengan kehalusan dalam menggunakan bahasa, saling menghargai, memperhatikan lawan bicara dan mengandungi nilai-nilai hormat yang tinggi.

Kesantunan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecerdasan emosional penutur dan mitra tutur karena di dalam komunikasi, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Pentingnya kesantunan dalam bersilaturahmi yaitu dapat menciptakan komunikasi yang efektif antara penutur dan mitra tutur (Rakasiwi, 2014:3).

Kita harus mencontoh Nabi Muhammad SAW dalam berkomunikasi: tuturan Rasulullah selalu menggunakan sedikit kata, tetapi sarat dengan makna. Perkataannya tidak dibuat-buat dan hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Kata-kata yang digunakan juga sangat sederhana dan lebih suka tidak berlama-lama bicara.

Dalam berkomunikasi Rasulullah senantiasa penuh persiapan dan tidak bersifat spontan. Di dalamnya, beliau selalu mengedepankan keindahan dan kasih sayang. Ritme pertuturannya pun sangat seimbang, tidak terlalu cepat dan juga terlalu lambat. Substansi tuturnya tidak pernah menekan dan mencela, perkataannya tidak dibesar-besarkan/dipanjang-panjangkan dan juga tidak terkena gagap. Selain itu Rasulullah selalu santun dalam berbicara dan senantiasa lembut dalam menyampaikannya. (Musthofa Shodiq ar-Rafi’I, 1990).

Seperti yang banyak diriwayatkan, Nabi senantiasa bertutur dengan baik dan sopan. Beliau sangat hati-hati dalam bicara, selalu bertutur yang baik, bahkan beliau menganjurkan ketika seseorang tidak dapat bicara hal yang baik, lebih baik diam.

Dalam komunikasi Rasulullah sangat memperhatikan. Pertama: Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Bagaimana Rasulullah bertutur pada orang yang lebih tua, kepada kaum perempuan, dan orang-orang asing yang berbeda dengan sosiokultural beliau.

Kedua: Tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan sosial. Gaya tuturan beliau kepada istrinya tentunya akan berbeda dengan gaya bertutur beliau kepada para sahabatnya. Karena itu, perlu dilihat kapan posisi beliau sebagai ayah, kakek dari cucunya, sebagai sahabat, sebagai pemimpin, sebagai utusan Allah dsb.

Ketiga: Tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur. Dalam hal ini, Rasulullah berbicara tegas dalam urusan tauhid, dll. (diadopsi dari Leech).

Berat memang untuk tidak mudik apalagi bagi yang berkesempatan untuk bertemu dengan keluarga tercinta, tapi keselamatan dan kesehatan jauh lebih utama.

Selamat Idulfitri 1442 Hijriah, Mohon Maaf Lahir dan Batin!

 

*Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *