DETAIL.ID, Jakarta – Sembilan bulan pandemi Covid-19 telah melanda Indonesia. Namun, Indonesia dinilai belum memasuki fase kritis akibat pandemi tersebut.
Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman memprediksi, Indonesia akan memasuki masa kritis dalam kurun waktu tiga hingga enam bulan ke depan. Cara mencegahnya, kata dia, program Testing, tracing, treatment (3T) harus semakin digencarkan dalam tiga bulan pertama di 2021.
Dia menilai, 3T akan sangat menentukan apakah kurva pandemi Covid-19 di Indonesia akan melandai atau malah terus naik.
“Kondisi Indonesia saat ini dan dalam 3-6 bulan ke depan memasuki masa kritis, mengingat semua indikator meningkat, termasuk angka kematian,” kata Dicky berdasarkan keterangannya yang diterima merdeka.com, Minggu 3 Januari 2021.
Bukan hanya itu, menurut Dicky, kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan juga sangat menentukan kurva pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Respon pemerintah sangat menentukan arah pandemi. Seperti menggencarkan tes, melacak riwayat, dan melakukan isolasi pasien. Termasuk respon 5M masyarakat dalam 3 bulan ini juga menentukan arah pandemi,” kata Dicky.
5 M yang dimaksud Dicky yakni, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan pakai sabun, membatasi mobilitas dan interaksi serta mencegah dan menghindari kerumunan.
Saat ini, pemerintah sedang menggalakkan program vaksinasi. Dicky mengatakan, keberhasilan program vaksinasi akan berjalan sukses bila kurva pandemi melandai. Sayangnya, saat ini kurva Covid-19 di Indonesia belum turun.
“Keberhasilan vaksinasi lebih mudah terjadi pada kondisi kurva pandemi yang sudah melandai. Indonesia kurvanya masih naik. Dikhawatirkan menjadi tidak efektif atau butuh waktu lebih lama untuk menciptakan herd immunity,” ujarnya.
Vaksin Bukan Solusi Ajaib
Dicky khawatir, semakin kritis keadaan pandemi Covid-19 di Indonesia, maka semakin lama pula kekebalan masyarakat terbentuk. Menurutnya, pemerintah harus menanamkan pola pikir kepada masyarakat bahwa vaksin Covid-19 bukanlah satu-satunya game changer karena kedisiplinan masyarakat terhadap protokol Kesehatan juga memiliki peran yang sangat besar terhadap pengendalian pandemi Covid-19 ini.
Dia melihat, saat ini, di mana vaksin sudah didatangkan, masyarakat mengira vaksin akan membuat pandemi Covid-19 berakhir karena telah menciptakan kekebalan tubuh. Padahal, kata Dicky, penerima vaksin masih memiliki bisa tertular, meskipun kemungkinannya kecil.
“Vaksin bukanlah solusi ajaib. Tidak ada vaksin yang sempurna memberi perlindungan. Sebagian kecil penerima vaksin masih memungkinkan untuk tertular Covid-19 hanya saja diharapkan dampaknya tidak terlalu parah,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, tidak ada satupun pandemi yang langsung selesai dalam kurun waktu yang singkat meskipun seluruh masyarakatnya sudah disuntik vaksin. Dia pun memberikan contoh vaksinasi cacar dan polio yang baru selesai dalam kurun waktu yang lama.
“Sejauh ini, tidak ada pandemi yang selesai dengan vaksin. Contohnya cacar, walau sudah ada vaksin, selesainya dalam 200 tahun. Lalu polio, 50 tahun. Covid pun sama. perlu bertahun-tahun untuk mencapai herd immunity,” kata Dicky.
Saat ini, Indonesia sendiri belum mulai menyuntikkan vaksin. Selain itu, program vaksinasi juga dilakukan bertahap. Maka, selama masa tunggu penyuntikkan ini, masih besar kemungkinan adanya penularan virus Corona.
Dia khawatir, masyarakat menjadi lengah dan abai pada saat program vaksinasi berjalan. Sehingga, bisa menimbulkan strain Covid-19 baru yang bisa membuat kondisi Indonesia bisa semakin terpuruk.
“Selama menunggu vaksin, penyebaran virus yang sudah tidak terkendali ini bisa menyebabkan kondisi memburuk. Yang dikhawatirkan selain banyaknya kematian yaitu timbulnya strain baru yang merugikan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indoesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, virus penyebab Covid-19 memang bermutasi dari waktu ke waktu dan mutasi virus kali ini sangat signifikan.
“Ada 15 mutasi yang menyebabkan perubahan asam aminonya dan ada 3 delesi. Harus diingat, virus Corona varian baru menular jauh lebih cepat 71 persen, namun para ahli juga sangat yakin, virus baru ini tidak lebih,” kata Zubairi pada 29 Desember lalu.