OPINI  

COVID-19 Itu Nyata, Berani Buka Sekolah?

SATGAS Penanganan Covid-19 (Covid19.go.id) setiap hari merilis data terkonfirmasi, kasus aktif, sembuh dan meninggal untuk 24 jam terakhir dan peta sebaran kasus per provinsi. Memang jumlahnya fluktuatif kadang bertambah dari hari sebelumnya, kadang berkurang. Yang jelas belum ada tanda-tanda pandemi ini akan berakhir.

Data yang dihimpun dari beberapa sumber menunjukkan jumlah pasien terkonfirmasi positif berkisar 5.000-7.000 sehari: 27 Desember: 6.528, tanggal 26 Desember: 6.740, tanggal 25 Desember: 7.259, tanggal 24 Desember: 7.199.
Untuk provinsi Jambi, 27 Desember 2020: 20 positif, 35 sembuh, Tanggal 25 Desember 2020: 29 positif, 41 sembuh. Tanggal 24 Desember 2020: 38 positif dan 42 sembuh. Tanggal 23 Desember: 39 positif, 8 sembuh dan 2 meninggal. Tanggal 22 Desember: 36 positif, 44 sembuh. Tanggal 21 Desember: 19 positif, 74 sembuh.(humasprotokoljambi)

Menyikapi hal ini, beberapa Pemerintah Daerah sudah memutuskan menunda pembelajaran tatap muka (PTM) yang direncanakan akan dimulai awal Januari 2021, karena situasi pandemi COVID-19 di tanah air penyebarannya terus menunjukkan tren peningkatan. (Republika)

Komisi X DPR RI juga mendesak pemerintah mengkaji ulang kebijakan itu gegara penyebaran virus Corona (COVID-19) kian ganas. Tingkat kematian anak akibat COVID-19 sama dengan tingkat kematian kasus COVID-19 pada usia 18-30 tahun dengan rata-rata 0,7 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa risiko COVID-19 pada anak hampir sama dengan risiko COVID-19 pada usia dewasa. (detik)

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]

Memang, Mendikbud telah memberikan kewenangan penuh terkait izin pembelajaran sekolah tatap muka Januari 2021 kepada Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi COVID-19. Intinya adalah pembelajaran tatap muka ini sifatnya diperbolehkan, bukan wajib.

Diharapkan juga Pemda, Kanwil dan juga sekolah/madrasah (selanjutnya disingkat S/M) mengambil keputusan untuk melaksanakan PTM, jangan hanya karena ikut-ikutan atau gengsi belaka. Pengkajian yang komprehensif tentang kesiapan baik fisik maupun non-fisik untuk melaksanakan protokol kesehatan yang ketat adalah hal utama. Tidak perlu memaksakan diri untuk menyelenggarakan PTM kalau memang belum siap. (Jawa Pos)

Berdasarkan Siaran Pers Kemendikbud Nomor: 368/sipres/A6/XI/2020, PTM hanya diperbolehkan untuk satuan pendidikan yang telah memenuhi daftar periksa: Pertama, tidak terlalu sulit bagi S/M untuk menyiapkan sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet bersih dan layak, sarana cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau hand sanitizer, dan disinfektan, kalau dana tersedia, semua akan ‘beres’ pada waktunya.

Kedua, hampir semua kecamatan memiliki puskesmas, bisa dipastikan akan begitu mudah bagi S/M untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, asal kedua pihak memiliki memiliki komitmen bersama.

Ketiga, sudah hampir 10 bulan pandemi, kalau cuma mewajibkan warga S/M memakai masker baik yang 3 lapis atau masker bedah sekali pakai, itu normal, tidak memberatkan, sebagai warga S/M sudah terbiasa.

Keempat, tidak begitu susah bagi S/M untuk memiliki alat pengukur suhu badan (thermogun) lebih dari satu, apalagi dana BOS lancar, semuanya bisa dibeli.

Kelima, kalau urusan minta persetujuan komite sekolah atau perwakilan orang tua/wali, tidaklah begitu memberatkan kalau dimusyawarahkan sambil mendengar pendapat dari orang tua.

Begitu juga dalam urusan penerapan Protokol Kesehatan COVID-19, bukan hal yang sulit dilaksanakan: 1) jaga jarak minimal 1,5 meter, tinggal diberi tanda, siswa pasti mengikuti asal dikontrol; 2) jumlah maksimal peserta didik per ruang kelas, sistem pembelajaran bergiliran atau shifting, rasanya tinggal dibagi dan diumumkan, siswa akan datang sesuai dengan hari dan jadwalnya, begitu mudah.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]

Kantin tidak diperbolehkan buka, olahraga dan ekstrakurikuler tidak diperbolehkan, itu urusan komunikasi. Kalau disampaikan dengan baik dengan alasan yang logis, pihak pihak tersebut pasti mengikuti permintaan tersebut.

Dalam urusan jadwal pembelajaran, jumlah hari dan jam belajar dengan sistem sift, kelas dibagi sesuai dengan porsi persentase, apakah ada siswa yang masuk pagi dan siang. Itu sudah biasa dilakukan S/M, tinggal dirapatkan, didiskusikan. Insya Allah akan beres.

Yang memerlukan kontrol yang ketat adalah membiasakan siswa cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau menggunakan hand sanitizer, ini masalah kebiasaan. Tidak melakukan kontak fisik, relatif susah dikontrol, namanya juga anak-anak, yang memang suka bermain, apalagi sudah lama tidak ketemu.

Kemudian, menerapkan etika batuk/bersin ini juga masalah kebiasaan dan kepekaan terhadap krisis. Tapi, kalau S/M bisa mengontrol dan memonitor dengan seksama, ini pasti bisa dilakukan.

Yang agak susah bagi S/M adalah melakukan pemetaan warga satuan pendidikan: kemana siswa berkunjung selama libur, bagaimana dengan orang tua dan keluarga. Apakah ada keluarga yang terindikasi? Apakah ada orang dari kampong desa siswa terkonfirmasi? Apa pekerjaan anggota keluarga, apa selalu kontak dengan banyak orang? Apakah siswa tahu gejala COVID-19? Dan lain-lain.

Diprediksi S/M belum cakap mendata hal seperti ini, perlu ada bimbingan dari stakeholder.
S/M kemungkinan besar mengalami kesulitan untuk memastikan kondisi fisik dan mental warga S/M pasca libur, dan jika mengidap komorbid harus dalam kondisi terkontrol, tidak memiliki gejala COVID-19 termasuk pada orang yang serumah dengan warga sekolah.

Dan yang paling berat bagi S/M adalah memastikan siswa pulang dari S/M, siapa yang bisa mengontrol apakah siswa tetap menerapkan protokol kesehatan, tidak pergi ke mana-mana, langsung pulang ke rumah, tidak berkerumun, tidak kontak dengan orang yang belum jelas status kesehatannya. Ini yang dikhawatirkan oleh semua pihak.

Bagi guru, yang paling urgen yang disiapkan adalah memilah mana materi pembelajaran dengan tingkat kesulitan tinggi dan membutuhkan bimbingan guru secara langsung yang tidak bisa dilakukan dengan PJJ. Jangan karena sudah diizinkan PTM, hobby lama guru kembali muncul: suka ceramah atau hanya sekadar titip tugas.

[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga ” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” number_post=”7″ post_offset=”1″]

PTM kali ini menuntut inovasi dan kreativitas guru dalam pembelajaran. Karena dengan durasi (mengajar) yang diperpendek, materi yang sifatnya esensial harus dikemas agar siswa mudah mengerti. Bukan sebaliknya, semakin dijelaskan guru, siswa tambah tidak mengerti. Ini tantangan bagi guru.

Oleh karena itu, PTM dalam masa pandemi COVID-19 memang tidak sesederhana yang dibayangkan. Perlu persiapan matang agar tujuan PTM sesuai dengan apa yang harapkan, yakni, pengganti kata ‘bosan’ selama PJJ. Perlu kerja sama dengan semua stakeholder.
COVID-19 itu nyata, mari kita utamakan keselamatan dan kesehatan warga S/M.

* Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *