PADA 5 Maret 2014 sekira pukul 22.00, saya hendak menjenguk pasien bernama Puji (40 tahun) di rumah sakit Polri Bhayangkara Jambi tapi dicegah. “Maaf Pak, besok saja, harus mendapat izin dari pimpinan,” kata seorang pria bersafari hitam.
Seperempat jam kemudian, para perawat panik, “Jatuh, jatuh, pasiennya jatuh. Cepat angkat.”
“Tadi dia masih tidur nyenyak. Baru 15 menit saya tinggal,” kata perawat bernama Yoko. Di tengah kepanikan, beberapa perawat berusaha membantu pernapasan lewat selang oksigen. Sekitar jam 23.02, Puji meninggal.
Mendiang Puji datang pada jam 19.45. Dua orang sekuriti PT Asiatic Persada mengantarnya dengan mobil ambulans perusahaan. “Mereka langsung pergi. Karena pihak keluarga belum ada yang datang, kami belum berani mengambil tindakan. Termasuk selang infus belum kami pasang,” kata staf rumah sakit yang menolak menyebut nama.
Puji dibiarkan sendirian di ruangan isolasi, Anggrek 4, dengan kedua tangan diborgol dan kaki diikat kain putih. Ia terjatuh dari tempat tidur dengan borgol terlepas dari tangan. Sekujur badan lebam-lebam. Muka bercucuran darah yang belum dibersihkan. Matanya terluka parah.
Puji korban pengeroyokan aparat TNI Angkatan Darat dan sekuriti PT Asiatic. Ia sempat tak diketahui kabarnya sejak sore hingga baru diketahui beberapa menit menjelang ajal.
Menurut Agus Pranata dari Serikat Tani Nasional, tindakan represif itu bermula saat Titus, warga desa Bungku, kecamatan Bajubang, Batanghari, dijemput paksa dan sempat diseret dari rumah sekira pukul 15.12. Rumah Titus didatangi satu mobil patroli bertuliskan Sat Binmas Polres Batanghari jenis Gran Max dan empat orang berseragam TNI yang mengendarai motor.
“Mana yang namanya Titus? Ayo kita ke kantor sekarang juga,” kata Beno, kakak kandung Titus menirukan ucapan aparat keamanan itu. Para polisi tidak turun dari mobil.
“Kami tak mampu menahan mereka membawa Titus. Mereka sempat menembakkan senjata api ke udara. Kami takut sekali,” kata Beno kepada saya.
Beberapa warga, kata Beno, sempat melihat Titus diturunkan dan digebuki kala mobil bergerak 1 km dari rumah. Titus dibawa ke kantor PT Asiatic, berjarak sekira 12 km.
Mendengar kabar itu, pukul 16.10, ratusan warga dan keluarga korban datang menjemput namun dihadang puluhan aparat berseragam TNI dan sekuriti perusahaan. Aparat TNI menggunakan senjata laras panjang, sementara sekuriti menenteng samurai dan senjata tajam lain.
Pukul 16.30 saat mendekati kantor perusahaan di desa Bungku, beberapa petani dari dusun Mentilingan dan warga Suku Anak Dalam dipukuli. Akibatnya lima warga, Yanto (31 tahun), Dadang (56), Adi (24), Khori Khuris (71), dan Ismail (38) mengalami luka serius. Kelima orang itu dilarikan ke rumahsakit umum daerah Raden Mattaher, Jambi.
“Aparat juga sempat memberondong kami dengan tembakan, baik ke udara, ke bawah, bahkan ada sepeda motor yang tertembak. Mereka mau membunuh sekaligus menakuti kami,” kata Khori Khuris.
Kematian Puji dan lima korban luka itu sempat diproses hukum secara terpisah. Lima orang sekuriti PT Asiatic divonis masing-masing 10 bulan penjara. Sementara enam anggota TNI yang dinyatakan tersangka tak jelas kabar vonisnya, diadili di Mahkamah Militer Kodam Sriwijaya, Sumatra Selatan, yang sulit diakses publik. Penetapan mereka sebagai tersangka hanya diberitakan sekali oleh Kompas edisi 3 April 2014.
Sementara keluarga mendiang Puji mendapat bantuan uang Rp20 juta dari pihak perusahaan, kelompok SAD Batin 9 diminta secara resmi menyatakan bahwa Puji bukan asli suku itu agar konflik agraria segera diselesaikan.
“Kami penuhi permintaan itu namun kenyataannya proses penyelesaian konflik tanah masih berlarut-larut,” kata Herman Basir kepada saya.